I Kadek Suartaya, S.S.Kar., M.Si. (BP/kmb)

Oleh Kadek Suartaya

Perhelatan “Gandrung Sewu” yang digelar di Pantai Marina Boom, Banyuwangi, Jawa Timur, Sabtu 16 September 2023, sungguh heboh. Sejak siang hingga sore arena tempat pementasan yang berhadapan langsung dengan Selat Bali itu sesak ditumpahi ribuan masyarakat penonton. Terik matahari tak mengurangi antusiasisme  para hadirin, termasuk wisatawan untuk dapat menyimak penampilan seni pentas kolosal yang menggebrak sejak tahun 2012 tersebut. Ternyata tak hanya sewu, seribu penari (terdiri dari para gadis belia dan remaja dewasa) berlenggang menari, namun masih ditambah lagi 250-an penari pria yang memainkan sejumlah peran. Ruang pentas berpasir landai yang luasnya sekitar 100×100 meter, selama hampir satu jam tampak menyuguhkan kegemilangan binar seni yang menyembur dari akar budaya beraroma harum, pertiwi Banyuwangi.

“Gandrung Sewu” tahun ini mengangkat tema Omprog: “The Glory of Art”. Sejatinya omprog adalah penutup kepala atau gelungan (Bali) tari Gandrung. Dalam konteks memuliakan keagungan seni di Bumi Blambangan ini omprog dimaknai sebagai mahkota yang tak hanya bernilai seni luhur tapi merupakan simbol pelindung kepala yang menjaga para penari agar selalu berada dalam kesadaran dan mampu mengendalikan diri. Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani, saat membuka pagelaran mengatakan tema ini menggambarkan perjuangan penari Gandrung dalam mengatasi tantangan, ujian, hingga stigma negatif yang acap kali melekat pada mereka. Lebih jauh, Ipuk menegaskan bahwa seorang penari Gandrung harus mampu menjaga dan membentengi diri agar bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan terhormat.

Baca juga:  Pariwisata Bali Tanpa Wisman

Prestise tari Gandrung belakangan ini begitu membumbung. Betapa tidak. Kini kesenian ini bak jadi ikon Banyuwangi. Patung-patung penari Gandrung dipajang di tempat-tempat strategis, bertebaran di mana-mana. Sementara itu, melenggak-lenggok membawakan tari Gandrung banyak disuntuki para remaja putri. Penggalan tari Gandrung dijadikan pelajaran ekstra kurikuler di sekolah-sekolah. Setidaknya sejak satu dekade terakhir, hasrat untuk berkiprah pada ajang spektakuler itu membuncah. Padahal, sebelumnya, seperti yang diungkapkan Bupati Banyuwangi, di masa lalu, Gandrung sempat dibelit stigma negatif dicengkeram fenomena sosial-politik nasional. Bahkan pada 2018, ketika pementasan “Gandrung Sewu” telah disambut suka cita oleh masyarakat Banyuwangi, tudingan negatif yang memandang Gandrung sebagai kesenian jorok, sempat datang dari sejumlah tokoh ormas keagamaan. Namun, syukur tak berkepanjangan dan sirna dengan sendirinya. Gandrung pun kian memesona, digandrungi.

Pesona Gandrung diduga telah menguak sejak lampau. Keberadaannya saat itu telah ditulis oleh peneliti asing seperti Jon Cholte pada tahun 1926 yang diungkap dalam makalahnya  bertajuk Gandroeng van Banyuwangi. Cholte menyebut, tari Gandrung pada awalnya dibawakan oleh jejaka laki-laki  bernama Marsan yang berpentas dari satu tempat ke tempat lainnya dengan diiringi instrumen musik kendang dan terbang. Namun pada akhir abad 19, Gandrung Lanang mulai langka disebabkan ajaran Islam melarang segala bentuk transvestisme yaitu laki-laki yang berdandan seperti perempuan atau sebaliknya. Tari Gandrung laki-laki benar-benar lenyap pada tahun 1914, setelah Marsan meninggal dunia. Sesudah itu, baru kemudian muncul Gandrung yang dibawakan penari wanita. Berawal dari Semi, gadis kecil sakit-sakitan yang dikaulkan oleh ibunya bila sembuh akan dijadikan penari Gandrung. Berhasil pulih sehat, Semi pun tersohor sebagai penari Gandrung yang digila-gilai oleh para pria paju atau pamaju alias pengibing (Bali).

Baca juga:  Bali "Back to Basic"

Dilihat dari segi keberadaannya, secara tradisional, Gandrung berkaitan dengan kepercayaan mitologis masyarakat Suku Osing. Pementasan tari Gandrung hadir semarak sebagai rasa syukur masyarakat atas hasil panen sawahnya. Gandrung dipuja ibarat Dewi Sri yaitu Dewa Padi yang penuh asih memberkahi pertanian petani. Selain bersemayam dalam posisi mitos-sakral, tari Gandrung juga dimaknai secara patriot-heroik. Hal ini dikaitkan dengan perjuangan masyarakat Banyuwangi melawam kaum penjajah. Dikisahkan pada tahun 1767-1772 terjadi Perang Bayu berupa perebutan Blambangan dari kekuasaan Kerajaan Mengwi (Bali) oleh pihak Kompeni (Belanda). Akibat perang brutal itu, menyisakan sebagian kecil rakyat yang melarikan diri berpencar ke tengah hutan. Dituturkan, pentas-pentas tari Gandrung saat itu menjadi penyambung dan mengobarkan semangat juang rakyat hingga berhasil membangun kota dengan membabat hutan Tirta Arum, yang kemudian diberi nama Banyuwangi.

Romantika keberadaan tari Gandrung bagaikan roda pedati. Selain diusung hormat berjasa dalam perjuangan rakyat melawan musuh, juga pernah limbung dan dinista di tengah dinamika berjalanan bangsa ini. Itu terjadi setelah G30S pada tahun 1965-1966. Tidak sedikit dari para penari Gandrung dan pemain musiknya yang dituding simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), dikucilkan dan sengsara hidupnya. Bukan tidak hanya sampai disitu. Pihak penguasa juga mendikte aspek estetika tarian Gandrung, elemen mana yang boleh dan koreografi mana yang mesti diberangus. Pelarangan dan pengekangan pada jagat seni era itu  memang berlangsung di penjuru Indonesia dalam berbagai bidang seperti seni sastra dan terutama seni pertunjukan. Selain di Banyuwangi dan Pulau Jawa pada umumnya, nestapa serupa juga terjadi di Bali. Tari muda-mudi Janger, misalnya, baru sembuh dari traumanya sejak dimulainya Pesta Kesenian Bali (PKB), tahun 1980-an.

Baca juga:  Pariwisata Indonesia "Go Digital"

Jagat seni tak pernah lekang dari dialektika kehidupan. Seni sebagai ekspresi universal menunjukkan keluwesannya dalam menapaki dimensi peradaban. Kini, setelah mengarungi kompleksitas lingkungan kultural-relegi-sosiopolitik masyarakatnya, tari Gandrung berhasil lepas (untuk sementara) sebagai ungkapan seni yang lurus dan tegar. Boleh-boleh saja ia (Gandrung) ditumpangi niat ekonomi-pariwisata—dampaknya  perlu waktu—namun yang patut dimakfhumi adalah: inilah pemajuan kebudayaan yang tidak sekadar wacana. Masyarakat pendukung utama budaya Banyuwangi menunjukkan jati diri sikap yang elegan, menjauhi hipokritisme, dan menapak cakrawala seni dengan elan bergelora. Didukung spirit nan melambung, menggedor segala daya kreativitas melaju optimistik dengan landasan kecintaan pada warisan luhur mutiara Gandrung. Hasilnya sungguh mengundang takjub. Segenap penonton, gandrung. Keindahan, kedamaian dan kebanggaan ini patut terus disemai gilang gemilang.

Penulis, pemerhati seni budaya, dosen ISI Denpasar.

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *