DENPASAR, BALIPOST.com – Pecinta seni, khususnya seni drama gong di Bali kembali kehilangan salah satu seniman terbaik mereka. Pasalnya, pemeran permaisuri atau pendamping raja dalam seni drama gong, Ni Ketut Yudhani berpulang, Sabtu (7/10). Istri dari Wayan Kajeng yang juga seniman drama gong lawas ini, meninggal karena sakit komplikasi di RSUD Bangli.
Almarhum meninggal di usia 70 tahun dengan meninggalkan seorang suami, 2 anak, dan 3 cucu, Saat ini, jenazah almarhumah dititipkan di ruang jenazah RSUD Bangli, dan akan dipulangkan pada Senin (9/10). Jenazah akan dimandikan dan selanjutnya mekingsan ring geni pada Selasa (10/10).
Anak pertama almarhumah, Gede Yuliawardana, mengatakan bahwa ibunya sudah lama menyidap penyakit paru-paru, diabetes, dan ginjal. Sebelum menghembuskan nafas terakhir pada pukul 03.27 WITA, almarhumah sudah dirawat sejak 30 September 2023 lalu di RSUD Bangli.
Ketua Paguyuban Drama Gong Lawas, Anak Agung Gede Oka Aryana, SH.,M.Kn., merasa kehilangan atas meninggalnya Ni Ketut Yudhani. Dikatakan, di paguyuban drama gong lawas almarhumah termasuk salah satu pengelingsir yang banyak memberikan masukan, nasehat dan juga semangat kepada para anggota paguyuban berkaitan dengan kegiatan yang dilakukan demi ajegnya seni drama gong di Bali.
“Tiang (saya,red) merasa kehilangan sekali atas berpulangnya Ibu Mangku Yudhani. Mogi beliau amor ing acintya, polih genah sane becik,” ujar Agung Aryana yang berprofesi sebagai notaris ini.
Sebagai bentuk apresiasi atas pengabdian almarhumah mengajegkan drama gong, Paguyuban Seni Drama Gong Lawas akan menyerahkan piagam penghargaan pada saat melayat ke rumah duka pada Senin (9/10). Diharapkan, ke depannya muncul lagi seniman seperti alm. Ni Ketut Yudhani yang penuh dedikasi dan pengabdian terhadap drama gong di Bali.
Seperti diketahui, sebagai pemeran pramisuari atau pendamping raja, almarhum dikenal sosok yang lihai dalam memerankan tokoh wanita dengan karakter dan sifat yang teduh, sabar, dan setia. Almarhum memiliki pengabdian tinggi dan gigih dalam melestarikan seni drama gong, serta gigih melestarikan. Sehingga diberikan tanda Penghargaan Adi Sewaka Nugraha oleh Pemerintah Provinsi Bali serangkaian Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-44 tahun 2022.
Darah seni wanita kelahiran Bangli, 26 Juni 1953 ini mengalir dari almarhum ayahnya yang seorang penari Legong Terompong. Oleh sang ayah, ia diajarkan menari legong dengan menggunakan gamelan pengiring dari kursi yang dipukul-pukul, sekitar tahun 1961.
Ketika itu, ia belajar tari lepas, yakni Tari Margapati yang menceritakan gerak-gerak raja hutan. Selanjutnya, ia berlatih di puri setelah diketahui oleh Dewa Agung Regent yang tinggal di Denpasar. Ni Ketut Yudhani lalu ikut berlatih di puri setiap hari.
Pada 1963, ia diajak ikut festival menari legong di Denpasar. Ketika pentas di GOR Lila Bhuana ia baru merasakan pentas di atas panggung untuk pertama kalinya.
Ketika duduk di kelas VIII SMP tahun 1967, ia baru mengenal drama sandiwara yang menggunakan bahasa Bali dan bahasa Indonesia. Berawal dari modal seni itu, ia kemudian bergabung dengan Drama Gong Blumbang Kabupaten Bangli. Di sana ia didapuk menjadi pemeran putri dan pentas pertama di Pura Dalem.
Seiring berjalannya waktu, Ni Ketut Yudhani selanjutnya bergabung di beberapa grup drama gong. Seperti, Drama Gong Bon Bali, Bintang Bali Timur selama setahun, Bali Dwipa, hingga yang paling lama yakni di Bara Budaya. Selama menjadi pemain drama gong, ia kerap memerankan seorang permaisuri yang tersiksa. Namun, dengan kekuatan peran serta penjiwaan, ia berhasil menghipnotis penonton sehingga ikut masuk dalam peran yang dibawakan.
Terakhir, Ni Ketut Yudhani pentas drama gong pada tahun 2009 lalu. Sehingga 40 tahun lebih hidupnya diabdikan untuk kesenian drama gong. Selain itu, dirinya juga sempat menjadi pemain sinetron dan terakhir ikut berperan tahun 2010. Selain menjadi seorang seniman drama gong, Yudhani juga dulu bekerja sebagai pegawai administrasi di salah satu SMA di Bangli. (Winatha/balipost)