Dialog Merah Putih Bali Era Baru di Warung Bali Coffee Jl,. Veteran 63 Denpasar, Rabu (11/10). (BP/kmb)

DENPASAR, BALIPOST.com – Belum lama ini Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (TP PKK) Provinsi Bali didukung TP PKK Kota Denpasar menggelar kegiatan edukasi “Pungut, Pilah dan Buang Sampah pada Tempatnya”. Acara dipimpin langsung oleh Pj. Ketua TP PKK Provinsi Bali, drg. Ida Mahendra Jaya. Dengan sentuhan kasih sayang, Ida Mahendra membimbing dan memberi contoh kepada anak-anak tentang cara menyapu yang baik, memasukkan ke tempat sampah hingga penggunaan penjepit sampah. Selain itu, ia juga menekankan pentingnya upaya pemilahan sampah plastik dan organik di sekolah dan di rumah.

Program mengedukasi masalah sampah sejak dini mendapat dukungan dari berbagai kalangan, terutam sekolah. Apalagi drg. Ida Mahendra Jaya, mengatakan kegiatan edukasi “Pungut, Pilah dan Buang Sampah Pada Tempatnya”, untuk mendukung program Pemprov Bali, khususnya yang berkaitan dengan penanganan masalah sampah. Pelibatan anak TK menurutnya sangat penting karena budaya bersih mesti ditanamkan sejak dini.

Guru SD PGRI Kota Denpasar, Ni Komang Yuliawati, saat Dialog Merah Putih Bali Era Baru di Warung Bali Coffee Jl,. Veteran 63 Denpasar, Rabu (11/10) mengatakan, persoalan sampah memang tidak bisa diselesaikan oleh pemerintah saja. Perlu peran aktif masyarakat dalam menangani sampahnya masing–masing. Kesadaran menangani sampah sendiri tidak bisa muncul secara instan, perlu ditanamkan sejak dini.

Baca juga:  Tumpek Wayang Mengajarkan Kita Adaptif dan Bertransformasi

Diakuinya edukasi sejak dini sangat penting. Mengingat sampah yang dihasilkan oleh masyarakat sangat banyak, maka sampah itu harus ditangani oleh orang yang menghasilkan sampah. Maka dari itu sekolah penting memberikan edukasi pada anak didik agar pintar mengelola sampah sejak dini.

“Kami sudah menanam ke anak–anak untuk memilah sampah yang dihasilkan sendiri baik sampah makanannya dan sampah di rumah mereka, baik memilah maupun pengolahannya,” ujarnya.

Di sekolah, anak–anak dibagi menjadi dua golongan yaitu kelas rendah dari kelas I – III dan kelas tinggi dari kelas IV – VI. Untuk anak kelas rendah,  guru langsung menjadi contoh, mendampingi anak–anak cara memilah, mengolah sampah serta selalu tetap diawasi dan didampingi. Sedangkan untuk anak kelas tinggi, kegiatan yang diajarkan dari kelas I-III sudah menjadi kebiasaan sehingga mereka bisa secara mandiri memilah sampah. “Kita juga beri informasi pada anak, dampak dari sampah yang dihasilkan jika tidak mengolah dan memilah sampah,” ujarnya.

Pembagian kelas dilakukan karena cara dan metode pengajaran pemilahan dan pengolahan sampah berbeda. Mengingat di sekolah ada berbagai karakter anak, maka tantangan terkait sulitnya mengajak memilah dan mengolah sampah, ditangani dengan kerjasama dengan orang tua murid. “Kita berkolaborasi dengan orang tua agar program edukasi bisa dilanjutkan di rumah,“ imbuhnya sambil menyebut anak yang memilah sampah dengan baik akan diberikan apresiasi penghargaan di akhir pembelajaran semester.

Baca juga:  Penyu Masih Diburu untuk Diambil Dagingnya

Kepala TK Tunas Harapan, Vonny Agustina Susanta mengatakan, mengingat usia target sasaran pemilahan dan pengelolaan sampah masih sangat dini. Sangat penting penanaman kebiasaan karena kebiasaan sejak kecil akan dibawa hingga dewasa.

Untuk memberi pemahaman dan edukasi pada anak–anak TK, edukasi yang dilakukan dengan memberi contoh. Misalnya, dengan mengajak anak–anak ke sekitar lingkungan sekolah yang notabene ada sungai. Sungai yang mereka lihat tidak ada ikan dan keruh, ada juga sampah plastiknya. Edukasi langsung ini membuat anak paham bahwa yang membuat ikan tak dapat hidup di sungai itu karena adanya sampah yang dibuang sembarangan.

“Karena melihat langsung kami mulai masuk memberikan edukasi agar anak -anak mau memilah dan mengolah sampahnya sendiri,” ujarnya.

Ia juga mengajarkan cara mengolah sampah yaitu dengan menjadikan sampah organik sebagai eco enzyme dan sampah non organic menjadi ecobrick. Setiap anak–anak menghasilkan sampah plastik, maka dimasukkan ke botol plastik yang mereka hasilkan juga. Dalam satu tahun, botol plastik ukuran 1,5 liter akan penuh terisi sampah yang mereka isi sendiri. Sampah itu pun dapat dilihat sebagai emas bagi mereka karena ecobrick dapat digunakan kembali menjadi barang–barang ekonomis.

Baca juga:  PB FORKI Hanya Akui Lemkari Yuddy

“Jadi sistem yang kami gunakan adalah learning by doing, ditambah keteladanan dari guru-guru dan orang tua dalam memilah dan mengelola sampah mereka juga. Kami punya komitmen agar guru–guru juga memilah sampahnya,” jelasnya.

Kepala SD Negeri 2 Tonja, I Kadek Tediana Saputra mengatakan, edukasi pengelolaan sampah dilakukan dengan membuat sistem. Ketika tokoh yang memilah dan mengelola sampah sudah tidak lagi, dapat dilanjutkan oleh generasi lain sehingga sistem pengelolaan sampah di SD Negeri 2 Tonja dapat berkelanjutan.

Selain itu, ia juga menganalisis kekuatan dan kelemahan sekolah dalam mengelola sampah. Dengan konsep–konsep tersebut, implementasinya berupa pembuatan biopori di sekolah. Ada 22 biopori di sekolah yang bisa menjadi tempat anak–anak membuang sampah organik. Biopori yang selalu diisi sampah organik akan selalu hidup dan membuat tanah menjadi subur. Sementara sampah plastik dibuat menjadi ecobrick. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *