Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si. (BP/kmb)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Belakangan tersulut beberapa kejadian, lalu berkembang menjadi kasus yang diduga sebagai bentuk pelanggaran terhadap Bhisama PHDI terkait Kawasan Suci Pura. Di antaranya, aksi sekelompok massa warga Desa Adat Bugbug, Karangasem melakukan pengrusakan dan pembakaran material proyek pembangunan hotel yang dianggap berada pada kawasan suci Dang Kahyangan Pura Gumang bahkan ditengarai termasuk hutan lindung (balipost.com /30/8/2023). Kontraktor proyek yang merasa dirugikan kemudian melaporkannya ke pihak kepolisian sehingga beberapa pelakunya ditahan, dan sepertinya akan bergulir ke tingkat peradilan dengan risiko terkena hukuman pidana.

Lanjut, munculnya keberatan warga Desa Pesinggahan, Kecamatan Dawan, Klungkung yang tertuang dalam surat nomor 055/DAP/IX/2023 dan ditandatangani Bendesa Adat serta diketahui Perbekel setempat terhadap keberadaan sebuah penginapan yang beroperasi di kawasan suci Kahyangan Jagat Pura Goa Lawah (BP, 2/10/2023). Selain itu terungkap juga kabar,  adanya dugaan pelanggaran terhadap radius kesucian Dang Kahyangan Pura Sakenan oleh pihak PT Bali Turtle Island Development (BTID) yang melakukan pembangunan resort mewah. Pada lantai atas difungsikan sebagai learning hub atau kampus berskala dunia, sedangkan lantai bawah  dikomersilkan untuk area bisnis perusahaan asing Starbucks (PancarPos.com, 3/10/2023).

Baca juga:  Pendulum Kebudayaan Bali

Permasalahan pokok ketiga kasus diatas dipicu oleh dugaan terjadinya pelanggaran terhadap Bhisama PHDI Bhisama PHDI Pusat 25 Januari 1994, tentang  radius/jarak kesucian Pura, menyangkut boleh tidaknya membangun pemukiman penduduk atau bangunan umum lainnya. Tujuan bhisama ini untuk menata keseimbangan perilaku manusia dalam memanfaatkan alam agar tidak semata-mata dijadikan sarana untuk kepentingan hidup sakala yang bersifat sementara (profan), tetapi juga memperhatikan dan mempertimbangakn keyakinan niskala sesuai konsep ajaran Tri Hita Karana, yang mengatur keseimbangan tata parhyangan, pawongan dan palemahan. Secara praktis operasional, keberadaan bhisama tersebut dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap apa yang disebut sebagai Kawasan Suci Pura yang bersifat sakral–pingit dan tenget.

Bhisama merupakan produk Sabha Pandita melalui Pasamuhan Sulinggih yang dibantu Sabha Walaka dan pengurus harian PHDI Pusat. Bhisama ini tergolong norma agama, yang sanksinya tergantung keyakinan umat pada ajaran agamanya, namun menjadi petunjuk sekaligus pertimbangan penting untuk dilaksanakan. Sebab sebagaimana dinyatakan didalam Pustaka suci Manawadharmasastra, XII. 108, 110 : “Jikalau ada hal-hal yang belum secara jelas dinyatakan dalam ajaran Weda (Dharma) maka yang berwenang menentukan jawabannya adalah Brahma Sista (Pandita ahli), yang hasil ketentuannya  memiliki kekuatan hukum (legal); bahwa apapun yang telah ditetapkan oleh Brahmana Sista yang memegang jabatan di Parisada memiliki kekuatan hukum yang sah, siapapun sebaiknya tidak ada yang membantahnya (melanggar)”.

Baca juga:  Transmisi Lokal Meningkat, PHDI Minta Umat Hindu Gelar Ini

Pentingnya Bhisama dilaksanakan adalah untuk menjaga kawasan suci di areal Pura agar tidak terkontaminasi oleh hal-hal dapat mencemari atau menodai aura dan vibrasi kesakralannya, dan dikhawatirkan merusak atau bahkan menghilangkan pancaran sinar kesucian Pura beserta kawasan sucinya. Mengingat begitu penting dan mulianya esensi Bhisama  PHDI ini, Pemerintah Provinsi Bali yang juga berkewajiban menjaga keajegan nilai-nilai luhur kearifan lokal Bali,  kemudian mengadopsi serta menuangkannya di dalam Perda Provinsi Bali No. 16 tahun 2009 tentang Rancangan Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Bali, yang antara lain mengkuantitatifkan jarak ukur kawasan suci Pura mencapai radius lima kilometer untuk Pura Sad Kahyangan (Pura Besar), tentu termasuk Dang Kahyangan atau Kahyangan Jagat lainnya, dimana dalam radius tersebut tidak boleh ada bangunan yang bersifat komersial atau hunian sekalipun.

Baca juga:  Adat dan Budaya sebagai Kebutuhan Primer

Terkait munculnya kasus-kasus sebagaimana disebutkan diatas, tentu para pihak dapat memosisikan diri dengan bersikap adil dan bijak serta tetap merujuk pada norma hukum (ketentuan/aturan) yang berlaku secara yuridis formal, tanpa mengabaikan apalagi mengesampingkan nilai-nilai luhur yang terangkum dalam norma agama, seperti halnya “Bhisama”, yang memiliki konsekuensi tidak hanya bersifat sakala (keduniaan) tetapi juga berimbas pada sisi niskala (sradha-bhakti). Kini, setelah 29 tahun lalu Bhisama Kawasan Suci Pura dihasilkan, sudah saatnya direvitalisasi dan diaktualisasi. Quo Vadis PHDI?

Penulis, Dosen Fak. Pendidikan UNHI Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *