Prof. Dr. Ni Made Ratminingsih, M.A. (BP/Istimewa)

Oleh Prof. Dr. Ni Made Ratminingsih, M.A.

Kata akademisi merujuk pada seseorang yang terlibat dalam kegiatan akademik di perguruan tinggi. Mereka biasanya adalah orang yang berpendidikan tinggi, para pekerja intelektual yang mengabdikan dirinya untuk mengajar, melakukan penelitian untuk pengembangan ilmu pengetahuan, dan mendesiminasikan hasil-hasil penelitiannya dalam bentuk pengabdian kepada masyarakat.

Dengan definisi di atas, kata akademisi lebih tepat mengacu kepada para dosen yang bergelar Master, Doktor, dan Profesor yang kesehariannya bergelut dengan tiga tugas utama tersebut, yang biasa disebut Tri Dharma Perguruan Tinggi. Akademisi dapat juga digolongkan sebagai para kaum terpelajar yang kebiasaan atau santapan sehari-harinya adalah berdiskusi, berpendapat, berargumentasi, dan berdebat,
serta mengkritisi dengan fakta-fakta dan data-data.

Tentu data-data yang dikumpulkan atau disampaikan berdasarkan hasil penelitian, sehingga kebenarannya dapat dipercaya. Jadi, dalam setiap aktivitas mengajar, penelitian, pengabdian, dan event-event formal lainnya,
mereka sudah pasti terbiasa dengan pembahasan suatu konsep, teori, atau hasil penelitian melalui presentasi data-data emperis yang akurat.

Baca juga:  Tri Datu Berbasis Teknologi Tepat Guna Hadapi Pandemi COVID-19

Kejujuran akademik adalah sesuatu yang terkait dengan sikap dan perilaku jujur dalam menyampaikan data-data dengan tepat. Artinya data yang disampaikan adalah data riil dan autentik, sesuai dengan yang diperoleh dan
dilaporkan dengan sejujurnya dan apa adanya, jadi tidak mengandung kesalahan (falsification) atau sengaja dibuat-buat (fabrication) yang tidak berdasarkan hasil penelitian yang sebenarnya.

Kejujuran akademik ini menjadi sebuah keniscayaan karena mereka yang berpendidikan tinggi, para kaum terpelajar, harus menjadi suri teladan dalam berperilaku bagi masyarakat, baik di lingkungan akademik (kolega dan mahasiswa) maupun non akademik (masyarakat umum), bukan malah sebaliknya membuat pernyataan-pernyataan yang seolah benar, namun sesungguhnya tidak berdasarkan bukti-bukti autentik dan data-data akurat.

Belakangan ini sering terjadi fenomena bahwa para akademisi, yang juga terjun dalam dunia politik praktis, berbicara mengkritisi lawan politiknya dengan statement-statement yang meremehkan dan menyalahkan, seolah apa yang dikerjakan lawan politiknya tersebut tidak pernah benar.

Baca juga:  Di Hadapan Gubernur Koster, Ditegaskan RUU Provinsi Bali Segera Disahkan

Tak tanggung-tanggung, bahkan kata-kata kasar dan kotor, sumpah serapah juga dipertontonkan pada
khalayak, hanya demi menyerang dan menghancurkan lawannya. Ada pula, statement-statement kritik yang
dilontarkan tidak disertai dengan bukti dan data-data akurat. Ketika dikonfrontasi untuk menunjukkan data, mereka lebih memilih bungkam dan tak bersuara.

Bila pun bersuara, katanya salah mengutip data. Gampang sekali berkilah, demi sebuah pembenaran palsu. Ini adalah sebuah destruksi moral seorang akade-
misi, yang sengaja dilakukan untuk menghalalkan segala cara.

Sikap dan perilaku tersebut tidak bertanggung jawab, tidak berintegritas, tidak mendidik, dan tidak terpuji, sehingga tidak bisa diteladani. Kegiatan mengkritisi dalam era demokrasi saat ini sah-sah saja, bahkan diakomodasi oleh pemerintah. Namun, semua itu meski dikerjakan dengan santun dan dilengkapi dengan
data-data akurat, bukan data yang salah atau fiktif.

Jika data yang salah atau fiktif yang ditunjukkan kepada masyarakat, tentu itu dapat menyesatkan dan mengajarkan sebuah kebohongan. Bila mereka adalah Masyarakat golongan yang kurang atau tidak terpelajar,
mereka akan menelan mentah-mentah informasi yang diberikan sebagai sebuah kebenaran. Itu akan sangat berbahaya.

Baca juga:  Pendidikan di Bali di Era Pandemi

Akademisi yang terjun ke dunia politik juga sah-sah saja, namun manakala semua hal tendensius di atas dilakukan oleh seorang pemimpin atau calon pemimpin, yang notabene juga seorang akademisi, masyarakat harus mampu menilai dan bersikap kritis dalam
menentukan dan memutuskan pilihan. Mereka tidak layak untuk posisi terhormat itu, mereka kaum terpelajar yang sedang ‘sakit’ yang rela mengorbankan kebenaran dan kejujuran demi sebuah kepentingan sesaat.

Apa jadinya negara ini bila dipimpin oleh orang seperti itu? Berdasarkan fakta-fakta tersebut, berbicara dengan data (speak with data) merupakan kejujuran akademik yang harus dijadikan landasan berpijak dan berperilaku oleh para akademisi yang juga merupakan para pemimpin di lembaga formal, termasuk mereka yang berkecimpung di ranah politik praktis.

Penulis, Guru Besar Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *