Oleh: I P. G. Sutharyana Tubuh Wibawa, S.Pd., M.Pd.
Kasus bullying/perundungan kembali viral di media sosial tanah air. Dampaknya pun tidak main-main. Selain menimbulkan kesedihan dan trauma, para korban perundungan juga mengalami luka fisik yang tak jarang meninggalkan bekas lama bahkan seumur hidup, bahkan berujung pada keinginan mengakhiri hidup.
Mungkin saja kasus yang menyebar luas di media sosial hanya menggambarkan sebagian kecil kasus perundungan yang sesungguhnya terjadi, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Pada beberapa kasus, perundungan tidak hanya berakar dan terbakar di sekolah, namun juga terpapar hingga ke rumah. Pada akhirnya tidak hanya siswa yang menjadi korban bullying, namun juga guru di sekolah.
Para guru diintimidasi, seolah tak ada yang melindungi, hanya dijadikan ladang “samsak” bagi para pejabat publik yang latah. Sebagian di antaranya bahkan tak tahu akar persoalannya. Beberapa politikus dan anggota legislatif juga menunjukkan keberpihakannya pada siswa sembari membela siswa korban bullying yang belum tentu korban di-bully tanpa sebab. Seakan ingin menambah simpati, mereka juga unjuk kekuatan dengan memojokkan para guru dengan dalil-dalil hukum yang tak pernah disosialisasikan oleh penegak hukum. Organisasi-organisasi HAM juga seringkali berat sebelah, membela hak anak sebagai korban, namun mengesampingkan hak guru ketika menghadapi kekerasan fisik. Pada episode puncak, gurulah yang disalahkan, tidak boleh memberikan hukuman fisik maupun bentakan.
Banyak yang lupa, bahwa kehidupan akademis di sekolah dalam sehari berlangsung tak lebih dari 6-7 jam. Selebihnya mereka memiliki waktu banyak di rumah. Harus diakui, guru memiliki peran cukup sentral dalam menciptakan iklim sekolah aman dan menyenangkan, serta bebas perundungan.
Posisi sebagai pendidik yang telah memperoleh pendidikan keguruan, serta sertifikat pendidik yang menuntut kompetensi pedagogik, profesional, sosial dan kepribadian menjadi lonceng penanda bahwa guru sebenarnya harus siap dalam berbagai situasi. Namun, jangan lupa antagonis dari perundungan terhadap siswa masih banyak terjadi. Banyak kasus siswa berani melawan guru.
Ada juga siswa yang bermasalah dengan siswa, namun pada akhirnya orangtua siswa datang ke sekolah menyelesaikan dan memberi “pelajaran” pada anak yang bermasalah tanpa berkoordinasi dengan guru. Lebih parah lagi, ada orangtua yang nekat “menghajar” guru di sekolah saat pembelajaran berlangsung. Jika kondisi ini tidak direfleksi secara serius, maka dunia pendidikan akan diwarnai hukum rimba yang tidak hanya kuat yang menang, namun juga yang kalah tidak boleh melawan, karena akan semakin ditawan.
Ki Hadjar Dewantara pernah berkata bahwa keberhasilan pendidikan ditentukan oleh Tripusat Pendidikan, yaitu sekolah, keluarga dan masyarakat. Banyak insan pendidikan yang sudah mengenal tripusat pendidikan, namun pada implementasinya banyak terjadi ketimpangan, karena menganggap sekolah satu-satunya tempat anak belajar. Pada langkah awal ada beberapa langkah yang perlu dilakukan terkait bullying.
Langkah pertama yang urgent adalah melakukan sosialisasi tentang parenting kepada orangtua siswa, mengingat tidak ada sekolah atau kuliah jurusan mendidik anak. Para orangtua harus dibekali dengan parenting pada awal anaknya masuk sekolah tersebut.
Harapannya orangtua bisa memberi porsi tepat yang hal-hal yang bisa dilakukan di rumah, untuk memberi dukungan materiil dan non materiil, utamanya terkait dengan pembentukan karakter. Hal penting lainnya adalah perlunya saling melindungi. Jika sekolah (guru) wajib melindungi anak, maka keluarga dan masyarakat wajib melindungi dan menjaga martabat guru. Minimal tidak langsung menghakimi dan mengkriminalisasi.
Apalagi sudah ada nota kesepahaman (MoU) antara Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dengan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) tanggal 20 April 2017 tentang Perlindungan Hukum Profesi Guru yang memberikan ruang untuk menyelesaikannya secara etik melalui PGRI sebelum dibawa ke ranah hukum.
Apabila MoU ini diterapkan dengan bijak dan terukur, maka guru akan memiliki rasa aman dalam menjalankan profesinya, karena sejatinya tidak ada niatan jahat ketika dari hati nurani ingin membuat siswa menjadi lebih baik daripada saat ini. Begitu juga dengan para tokoh masyarakat, perlu juga terjadi kesepahaman terkait dengan parenting.
Para regulator dan pemangku kebijakan (pemerintah) juga perlu melihat ini lebih jernih. Tidak mudah menanamkan kesepahaman parenting, terutama di lingkungan masyarakat. Akan tetapi, jika para anggota legislatif dan eksekutif bijak dan objektif dalam memberikan pembinaan, maka guru akan lebih respect memberikan pendidikan dengan hati nurani yang tulus.
Jangan sampai terjadi pembiaran akibat guru ketakutan menegakkan kedisiplinan di sekolah. Jangan sampai siswa merasa di atas angin akibat dibela secara berlebihan tanpa dasar edukasi yang terukur. Hanya dengan sinergi, persoalan perundungan yang sengkarut bisa berlarut dengan patut.
Penulis, Kepala SD No. 2 Penarungan Guru Penggerak Kemdikbudristek