DENPASAR, BALIPOST.com – Konsep hulu-hilir atau luan-teben masih relevan kita lakukan di Bali, terutama untuk kepentingan konservasi alam Bali. Konsep ini dijalankan dengan baik ketika krama hulu Bali khususnya di Danau Batur menggelar upacara Danu Kerthi belum lama ini. Justru dengan konsep Sad Kerthi atau Nangun Satkerthi Loka Bali mengajarkan kita untuk secermat mungkin melakukan tata kelola kawasan hulu dengan baik.
AKADEMISI yang juga Jero Penyarikan Pura Ulun Danu Batur, Desa Adat Batur I Ketut Eriadi Ariana membenarkan koneksitas hulu-hilir masih terpelihara dengan baik. Namun Jero Penyarikan Duuran Batur ini menilai pendekatan kultural menjaga kawasan hulu harus dibarengi dengan tindakan nyata guna menjaga kawasna konservasi alam. Hal ini dia buktikan krama Batur selama ini melarang warganya memelihara induk babi dan kuda karena dinilai bisa mencemari alam sesuai Bhisama Ida Bhatara Batur.
I Ketut Eriadi Ariana pada acara Dialog Merah Putih Bali Era baru bertema “Memuliakan Kawasan Hulu” di Warung Bali Coffee Jl. Veteran 63 Denpasar, Rabu (25/10) mengungkapkan krama Batur saat Danu Kerthi juga konsistem melakukan pemuliaan terhadap bumi (tanah) lewat pemujaan Ida Bhatara Gumi dan pemulaan air lewat pemujaan Dewi Danu. Termasuk menjaga ekosistem hutan dengan ditetapkannya hutan kekeran yang tak boleh diganggu. Makanya, kata dia jangan heran dari 12 bulan di Batur terdapat 11 bulan dengan upacara pemuliaan air dan bumi.
Hanya saja dia sayangkan perkembangan saat ini membuat Danau Batur tidak seperti dulu lagi. Salah satu bukti kegagalan generasinya saat ini yakni tidak ditemukannya dua bioda danau untuk keperluan upacara paselang di Danu Kerthi belum lama ini. Dua biota itu yakni uyung (sejenis kakul) dan kepiting danau. Makanya dia menegaskan upacara ritual ini bisa dipakai bahan evaluasi oleh umat sejauh mana kerusakan alam telah terjadi. Termasuk kini warga sulit menemukan air permukaan Danau Batur naik, seperti yang ditemukan 10-20 tahun lalu. Justru terbalik, Pura Segara yang dulu berada di pinggir danau kini terkesan berada di tengah danau akibat pendangkalan.
Bagi I Ketut Eriadi Ariana, rusaknya kawasan hulu akibat kesalahan kita semua. Tidak juga adil jika warga hulu hanya diwajibkan menjaga alam, namun mereka tak bisa makan. Makanya dia menegaskan yang utama saat ini adalah tata kelola yang baik.
Jika bertani, kita harus bertani secara sehat tanpa zat kimia. Jika kembangkan pariwisata, pilih yang tepat, dan lainnya. Dengan demikian alam terjaga dengan baik, masyarakat hulu juga sejahtera alias hidup penuh keseimbangan. ‘’Coba kita jalankan Sad Kerthi secara konsekuen, pasti bermanfaat bagi kita semua,’’ujarnya.
Dekan Fak. Pertanian Dwijendra University, Ni Made Intan Maulina, S.P., M.P., mengatakan memuliakan kawasan hulu bukan hanya menyangkut danau, namun juga hutan dan gunung di sekitarnya. Salah satu langkah nyata adalah menghindari pertanian yang boros bahan kimia karena bisa merusak residu tanah.
Kedua, anggota Subak dan masyarakat sekitarnya juga harus kompak menjaga kebersihan sumber air dari sampah dan tanaman pengganggu. Kemudian PPL memberikan edukasi bahwa pelestarian alam berguna bagi diri sendiri dan orang lain. Hal ini harus diimbangin kebijakan pemerintah dengan melarang pembangunan di kawasan hulu. Sebab jika hutan habis, kita kehabisan Oksigen dan ekosistem terganggu. Makanya dia setuju aktivitas pariwisata ditekan seminimal mungkin, bila perlu Bali menerapkan One Island One Management.
Akademisi Pertanian Universitas Warmadewa, Dr. Nengah Muliarta mengaku terkejut dengan pengakuan Jro Mangku Ulun Danu Batur tentang hilangnya dua biota danau saat ini. Ini menandakan bahwa alam telah memberikan koreksi dan evaluasi kepada kita tentang adanya perubahan ekosistem di wilayah tersebut.
Dia mengatakan kawasan hulu adalah kawasan kering yang tak terendam air, namun sebagai penyangga dan suplai air ke bagian hilir. Makanya dia setuju Danu Kerthi jangan dibiarkan berjalan secara kultural saja namun diikuti dengan tindakan nyata dan politik pemerintah dalam menjaga alam dan kawasan hulu.
Sad Kerthi yang juga bagian dari Sad Kahyangan di Batur bisa dijadikan acuan bahwa kita harus tetap menyatu dengan alam secara sekala dan niskala. (kmb/balipost)