Marjono. (BP/Istimewa)

Oleh Marjono

Kita mahfum, kalangan artis menjadi bagian pelaku budaya bangsa. Mereka ada yang terjun di dunia musik, panggung komedi, aras karawitan, domain menari, fokus di belahan film maupun sinetron bahkan ada yang konsentrasi pada bidang dakwah, sebagai host dan jurnalis, maupun iklan layanan masyarakat dan sebagainya.

Para artis itulah yang kemudian mewakafkan dirinya memberikan hiburan, asupan pengetahuan, ketampilan maupun sikap hingga bisa turut mendewasakan kita melalui peran kontribusinya dalam dunianya masing-masing. Acap kita menjadi aneh, seakan bukan lagi
menjadi diri kita sendiri. Coba kita tengok sebentar ke dalam sekujur kita (in-out), kala seorang artis mendaftar sebagai caleg (calon legislatf) atau masuk dalam DCS /DCT anggota parlemen, tak sedikit dari mereka yang diolok-olok, dilemahkan bahkan di-bully lewat dunia maya dan alam nyata.

Mengapa juga, kita masih iri atau tak terima ketika para artis itu melakukan eksplorasi di dunia lain, merumput di bidang lain, mengadu nasib berlari ke Senayan. Kita
seolah merawat egois yang tak hingga, dan menolak bahkan melawan para artis turut ke dalam barisan politisi. Masyarakat kita sangat mencintai dan menikmati produk para artis lewat suaranya, aksinya, lucunya, keluwesannya, entertaint-nya, cas-cis-cis-nya. Tapi di ujung lainnya kita mencaci, merendahkan dan
mensubordinat para artis yang kerap dilabeli sebagian warga, gak bisa apa-apa saat terjun di tataran politik.

Baca juga:  Likuifaksi dan Tata Ruang Wilayah Bali

Sudah seharusnya kita tak memaksakan kehendak untuk menghentikan itikad dan langkah kawan-kawan artis untuk mendedikasikan diri membangun tanah air melalui suaranya di DPR/DPRD. Bukakah kita menginginkan setiap anak bisa punya multi talenta. Jika
bisa, kenapa tidak. Memangnya masyarakat mau menjamin biaya hidup artis kalau tidak diversifikasi profesi.

Apalagi sekarang tak ada yang murah, semua berbayar apalagi harga beras sedang melambung. Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Patut
dicatat dalam sentilan lagu Megy Z, “…jangan berlayar kalau kau takut gelombang, jangan bercinta jika kalian takut sengsara,….”

Kita tak perlu sok tahu, sok perhatian dan sok paling bisa, karena apa, kala kita apriori kepada orang lain, itu kemudian sejatinya kita sedang mempertontonkan ketidakmampuan kita sendiri secara benderang. Iri, nyinyir itu tanda tak mampu. Mengapa kita tidak bersyukur, mendoakan dan menyuport para artis agar seni budaya kita terawat dan berkelindan dengan baik, melalui proses bisnis dalam urusan reses, legislasi dalam perundangan.

Baca juga:  Supriatna Berpeluang Besar Kembali Jadi Ketua DPRD Buleleng

Bagaimana menjaga, memajukan dan membiakkan sekaligus memproteksi luhurnya seni budaya kita. Jangan sampai sebagai kita sebagai warga Negara, sewaktu ada yang berjuang ke sana, tiba-tiba kita mentransformasi diri menjadi kotraproduktif, menjadi sosok yang tuna budaya. Harap maklum, menjadi
hebat itu bukan hanya lulusan ilmu politik, hukum dsb, tamatan lain juga punya hak dan kewajiban yang duduk sama rendah berdiri sama tinggi.

Kita tak boleh menutup mata atas kerja keras kalangan artis yang duduk di gedung dewan tak henti menginisiasi, menyuarakan, mengusulkan, membangun hingga melahirkan produk regulasi bahkan prolegnas yang mampu merawat dan memekarkan budaya bangsa. Su-mdahlah tak ada nilai plusnya dan sekali lagi kita tak pernah naik kelas, kala kita hanya merasa bisa tapi tidak pernah bisa merasa.

Baca juga:  Kapitalisasi Aset Budaya Bali

Sumberdaya setiap orang berbeda. Selera makan, soal warna, pilihan hidup tentu saja akan berlainan di seluruh ceruk di negeri ini. Itulah kita penting merawat masa depan kebhinnekaan, termasuk menghargai dan
menghormati pilihan dan jalan hidup para artis di dunia politik. Bekesenian ataupun berkebudayaan dalam politik, tidak dilarang. Itulah kemudian sudah saatnya kita berpolitik yang budaya atau membudayakan
politik yang ramah, damai dan gembira.

Bangsa kita kesohor sebagai bangsa yang besar, bukan bermulut besar. Artis hadir di Senayan bukan komoditas
baru. Sejak era orde lama, orde baru, era reformasi bahkan hingga era digitalisasi kini. Praktik ini tentu saja menjadi laga perburuan sekaligus permenungan buat kita semua. Catatan kita hari ini, artis bukan biang gosip, tidak tukang glamour, mereka pun bisa bekerja.

Keterwakilan perempuan pun dijamin dalam konstitusi kita, tentu saja termasuk artis perempuan. Kita akan
menjadi apa yang kita pikirkan, kita pun tak jauh dari apa yang kita tuliskan.

Penulis, Kepala UPPD/Samsat Kabupaten Tegal, Jawa Tengah

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *