Oleh John de Santo
Siswi salah satu Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT) PN (16), ditemukan tewas gantung diri pada Jumat (29/9). Diduga gadis itu nekat bunuh diri setelah foto pribadinya tersebar di media sosial.
Ia juga sempat merekam aksi gantung diri tersebut di ponselnya dengan durasi 17 menit. Kejadian ini menambah rangkaian peristiwa tragis yang melibatkan kejahatan cyber. Bagaimana kita menyikapi fenomena ini?
Penyebaran foto-foto telanjang para remaja di media sosial dengan sejumlah kasus bunuh diri yang berkaitan dengannya, telah meningkatkan keprihatinan masyarakat dalam beberapa tahun belakangan ini. Fenomena tersebut secara umum dikenal sebagai pornografi balas dendam (revenge porn) atau pelecehan seksual berdasarkan citra/
gambar (Image-based sexual abuse) yang dilakukan dengan cara menyebarkan foto atau video pribadi tanpa sepengetahuan atau seizin yang bersangkutan.
Menurut kajian National Sexual Violence Resource Center (NSVRC) yang berkantor pusat di Enola, Pennsilvania, US, satu di antara lima orang remaja di dunia, telah menjadi korban kekerasan digital yang juga dikenal sebagai kejahatan cyber (cyber crimes). Kejahatan itu mencakup penyebaran foto atau video telanjang, intimidasi dan pemerasan. NSVRC juga menandaskan, dampak jangka panjang terhadap para remaja yang menjadi korban kejahatan cyber sangat serius.
Selain berpikir untuk bunuh diri, korban juga mengalami depresi, kecemasan, kehilangan harga diri, dan kepercayaan terhadap orang lain, juga PTSD (post-traumatic stress disorder) atau gangguan stres pascatrauma. Dunia mengenal kasus bunuh diri dari seorang remaja 15 tahun bernama Amanda Todd, asal Canada, pada 2012. Gadis itu melakukan bunuh diri sebulan setelah ia menjelaskan secara online tentang bagaimana ia mengalami kekerasan dan pemerasan gegara foto telanjangnya tersebar di wahana sosial Facebook.
Kasus Amanda menjadi high profile case, karena langsung memicu pembahasan global tentang pentingnya mencegah kekerasan online. Indonesia sebagai negara yang mengalami transformasi digital yang cepat, dengan meningkatnya penetrasi internet, membuat negara ini rentan terhadap berbagai ancaman kejahatan cyber. Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang merupakan salah satu lembaga yang memantau dan mengadvokasi hak-hak anak Indonesia, kejahatan Cyber adalah tindakan intimidasi, pelecehan, penghinaan serta pemerasan yang dilakukan melalui media digital seperti pesan teks, foto atau video melalui media sosial atau wahana online lainnya.
Korban kejahatan cyber, biasanya mengalami tekanan psikologis berat, merasa terisolasi, dan tak memiliki tempat untuk melarikan diri dari pelecehan tersebut. Sementara Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia menggarisbawahi angka bunuh diri di kalangan remaja yang meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun trakhir. Pada tahun 2019, terdapat 1.551 kasus bunuh diri di kalangan remaja berusia 10-24 tahun, dengan mayoritas korban berada dalam kelompok usia 15-19 tahun.
Meskipun demikian, belum ada sumber yang secara spesifik menyebutkan jumlah kasus bunuh diri remaja yang disebabkan oleh kejahatan cyber.
Bunuh Diri
KPAI telah mengidentifikasi beberapa faktor yang berkontribusi terhadap kasus bunuh
diri akibat kejahatan cyber di Indonesia. Salah satunya adalah kurangnya kesadaran dan pemahaman tentang bahaya cyber crime di kalangan masyarakat, terutama orangtua dan pendidik. Banyak orang tua yang tidak memahami potensi risiko yang ada dalam penggunaan teknologi digital oleh anak-anak mereka.
Selain itu, kurangnya regulasi dan penegakan hukum yang memadai juga menjadi faktor yang memperburuk situasi ini. Meskipun ada Undang-Undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) yang mengatur tindakan kriminal di dunia maya, namun penegakan
hukum terhadap pelaku kejahatan cyber masih terbatas. Untuk mengatasi masalah ini, KPAI merekomendasikan beberapa langkah penting.
Pertama, meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang bahaya cyber crimes melalui kampanye edukasi yang melibatkan orang tua, pendidik, dan masyarakat umum. Kedua, perlu adanya kerjasama antara pemerintah, lembaga perlindungan anak, dan penyedia layanan internet untuk meningkatkan regulasi dan penegakan hukum terkait dengan cyber crimes. Ketiga, penting untuk memperkuat peran keluarga dalam melindungi anak-anak dari bahaya kejahatan cyber. Orangtua perlu terlibat aktif dalam pengawasan dan
pendampingan anak-anak untuk menggunakan teknologi digital.
Penulis, Pendidik dan Pengasuh Rumah Belajar Bhinneka, berdomisili di Yogyakarta