Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si. (BP/kmb)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Kebanyakan orang luar menilai, Bali dengan gelimangan dolar dari hasil industri pariwisatanya diyakini tidak ada yang namanya warga miskin. Masyarakatnya dipastikan semua dalam keadaan baik-baik saja alias sejahtera dan makmur.

Begitu kira-kira gambaran, tepatnya terawangan pihak luar yang realitanya ternyata “ngatibambung”, tampak begitu gemilau (ngereneb) tetapi di dalamnya kosong. Seperti “kosongnya” kantong (sebagian) masyarakat Bali yang dikatagorikan mengalami kemiskinan ekstrem.

Syukurnya, tetapi tidak untuk dibanggakan, persentase kemiskinan di Bali pada Maret 2023 berada di angka 4,25 persen, sangat jauh di bawah angka rata-rata kemiskinan nasional yang tercatat sebesar 9,36 persen. Persentase kemiskinan di Provinsi Bali menduduki peringkat pertama terendah secara nasional. Hal ini diungkapkan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali, Endang Retno Sri Subiyandani.

Buka bukite ejohin katon ngrawit, sebuah frase pengandaian (sesenggakan) yang bermakna, melihat ataupun menilai sesuatu dari kejauhan tampaknya indah, bagus atau baik-baik saja, meski realitanya jauh panggang dari api — tidak sesuai antara pengamatan/penilaian dengan kenyataan. Begitulah  belakangan terungkap, Pulau Bali kesohor sebagai destinasi pariwisata dunia dengan sumbangan devisa besar kepada negara, ternyata belum mampu sepenuhnya “membesarkan” warga masyarakatnya, terutama krama Bali dari jeratan kemiskinan ekstrem.

Baca juga:  Galungan: Galang-Guling-Gelung-Geleng

Kendatipun Pulau Bali dengan keindahan alamnya bagaikan surga jatuh ke bumi, tetapi tanpa sokongan krama Bali sebagai elemen vital penggerak segala aktivitas sosial adat dan pengolah seni-budaya yang dijiwai agama Hindu, diyakini industri pariwisatanya tak akan “mataksu” (maju). Karena di situlah letak magnet besar plus pesona hebat yang membuat para wisatawan terus mengalir, seolah tidak bosan-bosannya berdatangan menikmati Bali.

See Bali before die, lihat Bali sebelum mati, begitu pesan paling berkesan dari para turis. Hanya saja, sungguh sebuah ironi yang bukan komedi dan semoga tidak menjadi tragedi, bahwa dibalik gemerincing aliran devisa untuk negara atau PAD Bali yang terbilang tinggi, keadaan (sebagian) masyarakatnya, lebih memprihatinkan lagi krama Bali, masih ada yang ajeg terjebak tak berdaya dalam keadaan miskin —  kemiskinan ekstrem — lacur bin tiwas.

Baca juga:  Penelusuran Covid-19 Terstruktur, Masif, dan Sistemik

Lalu, apa itu kemiskinan ekstrem, tiada lain kondisi ketidakmampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar, yaitu makanan, air bersih, sanitasi layak, kesehatan, tempat tinggal, pendidikan dan akses informasi terhadap pendapatan dan layanan sosial. Seseorang dikategorikan miskin ekstrem jika biaya kebutuhan hidup sehari-harinya berada di bawah garis kemiskinan esktrem ; setara dengan USD 1.9 PPP (Purchasing Power Parity).

PPP ditentukan menggunakan “absolute poverty measure” yang konsisten antar negara dan antar waktu. Dengan kata lain, seseorang digolongkan miskin ekstrem jika pengeluarannya di bawah Rp10.739/orang/hari atau Rp322.170/orang/bulan. Sehingga misalnya dalam 1 keluarga terdiri dari 4 orang (ayah, ibu, dan 2 anak), memiliki kemampuan untuk memenuhi pengeluarannya setara atau di bawah Rp1.288.680 per keluarga/bulan (BPS, 2021).

Bila diselidik lebih jauh, sebenarnya masih ada (tersisa)  keluarga/krama Bali yang sama sekali tidak jelas penghasilannya, lantaran pekerjaannya pun tidak pasti (serabutan), kadang dapat lebih sering “puyung hae”. Contoh kasus di Singapadu Gianyar, ada sebuah keluarga terdiri 4 anggota, semua laki-laki, terjerat kemiskinan ekstrem yang membuat mereka minder sampai tidak berani menikah (BaliPost.com, 13/10/2023). Belum lagi “nasib” serupa dialami krama Bali lainnya yang seperti “hana tan hana” — ada tapi tiada. Tiadanya lantaran, masyarakat menganggap itu memang sudah nasibnya, atau yang bersangkutan malu mengekspos kemiskinannya, bisa juga aparat terbawah kurang tanggap berimbas pada pejabat lebih tinggi merasa tidak mendapat laporan.

Baca juga:  Protokol Penanganan Wabah Dalam Lontar-lontar Bali

Mirisnya, para elite politik yang dulu saat kampanye berkoar-koar hingga berbusa dan berbuih menebar janji manis dengan selalu mengusung tagline “mengentaskan” kemiskinan. Ternyata memang benar (sebagian) krama miskin hanya di-entasin (dilewati) tanpa berkontribusi apapun, dibiarkan meratapi nasib dalam keadaan mengalami kemiskinan ekstrem. Kemiskinan ekstrem terjadi di Bali memang benar-benar aneh bin soleh plus nyleneh.

Penulis, Dosen Fak. Pendidikan UNHI Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *