Marjono. (BP/Istimewa)

Oleh Marjono

Hiruk pikuk tahun politik menjelang pemilu 2024 sangat terasa, baik di ruang-ruang elit, hingga ke ruang publik, seperti perkantoran, tempat ibadah, gerai hiburan, lapak kaki lima hingga rumah tangga, dan serunya lagi setiap hari ditingkahi pemberitaan media yang  cukup masif. Sejak usulan hingga penetapan capres-cawapres tak ada yang mulus tanpa menyisakan ribut ataupun gaduh dulu, meskipun tak berlangsung lama.

Itukah alam demokrasi kita yang barangkali menyatakan sah-sah saja kala segala sesuatu justru lebih baik ribut di hulu atau pun geger dulu, dengan catatan jangan sampai mengarah ke konflik horizontal. Terbaru, keputusan MK (mahkamah konstitusi) yang mengabulkan gugatan soal batas usia minimal capres-cawapres dan tambahan klausul telah maupun sedang memiliki pengalaman di pemerintahan merujuk hasil pemilu pun memantik khalayak untuk memanjakan opini, komentar, tanggapan, reaksi pro dan kontra.

Ada yang menyatakan tidak sah, tapi terdapat pula yang mengungkap keputusan MK itu, sah. Beda pendapat boleh, punya alasan lain juga tidak dilarang maupun memiliki pandangan baru pun tidak masalah. Semua pendapat ada kanalnya. Di negeri ini tak sedikit orang pandai, expert. Kala terbit problema baru, isu baru, peraturan soyogyanya tidak lantas disambut dengan keributan dulu, jauh akan lebih bermakna ketika semuanya duduk bersama, rembugan dan mencari formula solusi terbaik, jangan sampai rentan konflik.

Baca juga:  Virus Corona dan Sejarah di Bali

Acap kita hanya menyoal hal-hal yang kecil, sederhana yang (bisa saja) dibesar-besarkan, tapi kita kerap lupa akan persoalan besar yang menindih kemajuan dan kesejahteraan bangsa ini. Parpol atau para caleg bisa mengeluarkan dana yang fantastis untuk sosialisasi, kampanye, dan agenda lain untuk pemenangan kontestasi capres-cawapres, caleg, tapi menghentikan gelombang angka kemiskinan, korupsi, dan lainnya belum sepenuhnya bisa, seolah menjadi narasi yang terus berulang.

Kita paham, memang lokus dan fokus keduanya, antara pemilu, parpol, kemiskinan dan korupsi berlainan, tapi kemudian muaranya kita mesti cakap mengurus Negara bukan menguras Negara. Ataupun pada aras lain terkini, pemerintah bergiat memberikan bantuan rice cooker bagi masyarakat miskin, tapi kemudian persoalan intinya kita tidak kekurangan alat memasak atau menanak nasi. Justru hal sebaliknya, kaum miskin mau masak apa kala harga beras menjulang, harga cabai melangit.

Pertanyaan atas relevansi dan ketepatan peluncuran stimulan menjadi urgen, kala Negara juga sedang tak sedikit menyediakan anggaran pemilu. Kebijakan yang punya tujuan baik pun tak ayal menuai kritik bahkan caci maki, polemik apalagi apriori. Tapi semua itu tentu ada pelajaran penting yang menuntun kematangan dan kedewasaan pikir kita.

Baca juga:  Sejumlah Partai Ingin Dampingi Jokowi di Pilpres 2019

Pada domain lainnya lagi, kerap kita dipertontonkan oleh para elite kala di forum sidang dewan ataupun saat talkshow di layar televisi terlihat sibuk ribut dan selalu bersebrangan, tapi kemudian ketika keluar ruangan mereka, justu malah ngopi bareng, bercanda dan tertawa kolektif. Ini yang tak jarang menimbulkan tanda tanya ataupun praduga khalayak. Dan, paktik demikian yang layak diacungi jempol. Di laga itu lawan, di luar kawan dan saudara.

Bersikap kritis boleh dong, berlaku skeptis pun juga tidak tabu, mengapa kemudian kita suka dengan iklim yang seakan-akan terjadi geger genjik nggak ketulungan, dan ternyata gegeran akhirnya gergeran (ribut-ribut ujungnya ketawa). Itu masih cukup baik ketimbang seumur-umur geger, ribut melulu. Misterikah, hanya kita yang bisa menjawabnya.

Pada kutub lain, coba kita lihat saat salah satu kader dari satu parpol yang dijagokan parpol lain dalam capres-cawapres, riuhnya luar biasa, baik di dunia maya maupun di jagat nyata. Ada yang bilang soal etika politik, kesetiaan, air susu dibalas air tuba, kebaikan ditukar penyimpangan, pengkhianatan, habis manis sepah dibuang, tapi ada juga anggapan dan pemikiran, jika seperti itu artinya kadernya laku, punya potensi dan menjadi asset bangsa.

Baca juga:  Sang Arsa Wijaya, Pemimpin Idola Bali

Atau di ujung lainnya, saat sudah kenal, dekat bahkan pacaran tapi barangkali terlampau lama menunggu kepastian dipinang atau sebaliknya tidak sabaran menanti saat yang tepat meminang, lantas salah satu pasangan itu membuat jarak hingga putus tanpa LDR. Kadang kita merasa sayang, masyarakat kita tenang-tenang saja, fun-fun saja, akur-akur saja, tapi parpol dan media acap berbuat beda. Jika hidup kita habis untuk mengomentari orang lain, kapan waktu kita untuk memperbaiki diri? Memang kita tak sepenuhnya bisa membaca dan memahami nalar publik di tahun politik ini. Kita telah, sedang dan akan terus berproses, sebelum akhirnya terjun pada bidang atau passion masing-masing. Akankah kita cukup layak dicalonkan menjadi pemimpin, apakah kita juga cukup layak untuk dipilih. Semua berpulang kepada rakyat.

Penulis, ASN Bapenda Provinsi Jawa Tengah

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *