Oleh Marjono
Ada beberapa isu strategis yang muncul pada penyelenggaraan pemilu, salah satunya adalah terkait dengan netralitas ASN (aparatur sipil negara). Netralitas ASN selalu menjadi sorotan utama ketika akan dihelat pesta demokrasi, baik itu pemilu maupun pilkada.
Paling tidak, ada dua alasan kenapa ASN selalu menjadi sorotan dalam perhelatan demokrasi khususnya Pilkada. Pertama, karena secara normatif ada tuntutan bagi ASN untuk selalu bersikap netral. Kedua, karena secara politik, ASN merupakan modal politik yang sangat menjanjikan bagi masing-masing kandidat.
Sejak pemilu dan pilkada secara langsung, terdapat benturan dalam tubuh birokrasi yang acap dijadikan mesin politik. Netralitas menjadi hal yang terus disorot karena birokrasi dipimpin oleh pemimpin politik. ASN memiliki potensi lumbung suara yang tidak kecil. ASN merupakan unsur pelaksana tugas pemerintahan dan pembangunan. ASN sebagai bagian dari masyarakat juga tidak luput atas hak asasi “bebas memilih” atau memiliki hak pilih tersebut. ASN juga secara mendasar memiliki hak kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dan pikirannya serta berserikat dan ataupun berkumpul.
Akan tetapi, berbeda dengan masyarakat lainnya, ASN bekerja dalam ruang birokrasi yang berarti ASN telah mengikatkan dirinya pada aturan yang dibuat oleh pemerintah sehingga perannya terbatasi sebagai abdi masyarakat atau pelayan masyarakat. Dengan demikian, loyalitas ASN hanya kepada publik atau dengan kata lain monoloyalitas kepada publik tanpa membandingkan pilihan atau preferensi politiknya. Besarnya pengaruh dari luar birokrasi tidak akan memberikan efek, jika ASN tersebut memutuskan untuk tidak terpengaruh dan mempercayakannya kepada sistem yang telah terbangun. Oleh karenanya, atas dasar prinsip keadilan serta penghargaan atas karya dan kinerja ASN, sistem birokrasi harus kuat ataupun diperkuat dengan berbasiskan pada merit sistem.
Dengan demikian, ASN akan fokus pada performa atau kinerja memberikan pelayanan yang terbaik serta menghadirkan kesejahteraan kepada publik. Selain itu, pelaksanaan prinsip pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) akan tercermin dengan pelaksanaan netralitas ASN yang efektif. Inilah yang telah, sedang dan akan terus kita lakukan.
Tidak hanya itu, kita juga terus mendorong agar ASN harus netral, Netral artinya tidak memihak. ASN harus bebas dari pengaruh/intervensi partai politik dan tidak memihak. ASN juga harus netral dalam pelayanan dan tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan masyarakat. Tidak boleh menguntungkan dan merugikan salah satu pasangan calon dalam memberikan pelayanan yang menjadi tupoksinya.
Maka kemudian, ASN dilarang untuk memberikan dukungan mereka dalam bentuk apapun untuk peserta pemilu 2024. Aturan ini tercantum dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Netralitas Pegawai Aparatur Sipil Negara dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum dan Pemilihan. Pada Pasal 1 Ayat 5 dijelaskan manajemen ASN adalah pengelolaan ASN untuk menghasilkan Pegawai ASN yang profesional, memiliki nilai dasar, etika profesi, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Merujuk pada Pasal 9 Ayat 2 menyatakan ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik. Kemudian, Pasal 87 Ayat 4 huruf c dalam Undang-Undang tersebut menjelaskan, PNS dapat diberhentikan secara tidak dengan hormat jika mereka menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik. Aktualisasi netralitas mewujud dengan ASN dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik. ASN yang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik wajib mengundurkan diri secara tertulis. ASN yang melanggar larangan tersebut diberhentikan dengan atau tanpa hormat sebagai ASN. ASN dilarang memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat, calon anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Penulis, Kepala UPPD/Samsat Kabupaten Tegal, Jawa Tengah.