DUBAI, BALIPOST.com – Indonesia akan fokus mengawal empat isu krusial dalam Konferensi Tingkat Tinggi PBB 2023 atau COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab. Hal itu dikatakan National Focal Point UNFCCC untuk Indonesia Laksmi Dhewanthi.
Isu pertama adalah pemaparan perdana global stocktake, karena semua pemerintahan menantikan hasil dari evaluasi Perjanjian Paris tersebut. “Ini menjadi input atau masukan bagi seluruhnya, untuk mengakselerasi kegiatan-kegiatannya, apakah itu mitigasi, komitmen pendanaan iklim, adaptasi dan lain sebagainya,” kata Laksmi di Dubai, dikutip dari kantor berita Antara, Kamis (30/11).
Kegiatan COP28 berlangsung pada 30 November sampai 12 Desember 2023 di Dubai, Uni Emirat Arab. COP28 adalah momen yang menentukan untuk bertindak berdasarkan komitmen iklim dan mencegah dampak terburuk perubahan iklim.
Konferensi ini berlangsung pada tahun yang dikenal sebagai tahun terpanas yang pernah tercatat dalam sejarah umat manusia dan ketika dampak krisis iklim mendatangkan malapetaka yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap kehidupan dan penghidupan manusia di seluruh dunia.
Laksmi menuturkan isu krusial yang kedua adalah mitigasi perubahan iklim. Di dalam mitigasi ada dua hal yang bakal dibahas oleh delegasi negara peserta COP28, yaitu mandat dari COP27 yang diselenggarakan di Sharm el-Sheikh, Semenanjung Sinai, Mesir, pada tahun lalu.
Mandat yang dibahas atau diberikan oleh COP28 adalah melakukan negosiasi bagaimana ambisi mitigasi bisa ditingkatkan dan bagaimana timeline atau work program ke depannya untuk memastikan bahwa ambisi tersebut bisa dicapai.
Selanjutnya, mitigasi mengenai program dunia tentang transisi berkeadilan atau world program on just transition pathway. Bagi seluruh peserta COP, ini adalah kali pertama bagi mereka membahas isu transisi berkeadilan.
“Tidak hanya energi, tapi transisi berkeadilan untuk semua aksi perubahan iklim, termasuk di dalamnya bagaimana transisi berkeadilan memastikan bahwa perubahan iklim tidak menomorduakan agenda-agenda pembangunan, misalnya kesetaraan gender dan lain sebagainya,” kata Laksmi yang menjabat sebagai Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tersebut.
Isu krusial ketiga adalah adaptasi perubahan iklim. Isu ini lahir dari program kerja global dari COP27 Sharm el-Sheikh yang disebut The Glasgow-Sharm el-Sheikh.
Adaptasi yang dimaksud adalah salah satu pilar yang penting, tetapi sifatnya memang lebih intangible, lebih beragam dari satu negara ke negara lain bervariasi, Indonesia berharap ada kesepakatan global terhadap aksi adaptasi tersebut.
COP28 akan memaparkan secara detail tentang kesepakatan global terhadap adaptasi perubahan iklim, lalu merumuskan dan menyepakati isu tersebut menjadi sebuah komitmen. Isu adaptasi menjadi mandat negosiasi Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim PBB tahun ini.
Kemudian, hal yang juga menjadi penting, karena tahun lalu di Sham el-Sheikh, negara-negara peserta sudah menyepakati kebutuhan dana untuk kerugian dan kerusakan sosial, ekonomi, serta lingkungan yang tidak bisa kembali akibat perubahan iklim atau loss and demage fund. Operasionalisasi dana kerugian dan kerusakan tersebut menjadi topik diskusi dan negosiasi pada COP28.
Sedangkan isu keempat yang dibahas mengenai pendanaan iklim. Terdapat dua topik yang dibahas dalam isu itu, yakni pendanaan iklim untuk jangka panjang, termasuk pemenuhan komitmen pendanaan iklim pada masa lalu, serta tujuan baru yang terukur secara kolektif dalam pendanaan iklim atau new collective quantified goal on climate finance. (Kmb/Balipost)