Prof. Dr. Ni Made Ratminingsih, M.A. (BP/Istimewa)

Oleh Prof. Dr. Ni Made Ratminingsih, M.A.

Kepemimpinan atau dalam bahasa Inggris disebut leadership mengacu pada kemampuan seseorang memimpin, menggerakkan, mengarahkan, mengatur, mempengaruhi, dan memotivasi, serta menginspirasi orang-orang yang dipimpin untuk mencapai suatu tujuan. Seseorang yang disebut pemimpin dapat bermula dari skup terkecil, yakni seorang bapak atau ibu yang memimpin sebuah rumah tangga.

Kemudian semakin meluas seiring dengan semakin banyaknya orang-orang dan luasnya wilayah yang dipimpin, seperti seorang ibu yang mempimpin kelompok PKK di desa, seorang guru yang memimpin peserta didik di kelas, seorang kepala sekolah yang memimpin sebuah sekolah, seorang kepala desa yang memimpin sebuah desa, seorang camat yang memimpin sebuah kecamatan, seorang bupati yang
memimpin sebuah kabupaten, seorang gubernur yang memimpin sebuah propinsi sampai dengan seorang presiden yang memimpin sebuah negara.

Menjadi pemimpin tentu tidak mudah, karena
seorang pemimpin harus memiliki beberapa
kualitas pribadi yang memenuhi persyaratan.
Belajar dari pemimpin besar Mahatma Gandhi,
ada beberapa prinsip utama yang perlu dijadikan
acuan untuk menjadi pemimpin. Pertama, seorang
pemimpin hendaknya menghindarkan dirinya
menggunakan kekerasan (ahimsa) terhadap
mereka yang dipimpin. Kekerasan yang dimaksud tentu bukan hanya kekerasan fisik seperti penganiayaan dan pembunuhan, namun juga kekerasan verbal dengan menggunakan kata-kata kasar, caci maki, hujatan, sumpah serapah, dan berita hoaks.

Baca juga:  Meneguhkan Pentingnya ”Sustainable Tourism”

Justru bentuk-bentuk kekerasan verbal lebih keji daripada pembunuhan. Seorang guru misalnya hendaknya menggunakan kata-kata yang sugestif untuk mempengaruhi peserta didik yang malas dan kurang termotivasi belajar, supaya mereka mampu mengubah dirinya untuk menjadi lebih baik.

Kedua, seorang pemimpin hendaknya memiliki ketetapan hati dalam melaksanakan kebijakan dalam mencapai tujuan yang selalu berlandaskan kebenaran (satyagraha). Seorang pemimpin harus menjunjung tinggi dan teguh memperjuangkan kebenaran, bila ada hal-hal yang keluar dari aturan atau regulasi, bahkan cenderung terjadi pelanggaran, seperti yang baru-baru ini dilakukan oleh seorang pemimpin dalam lembaga tinggi negara, yakni pelanggaran konstitusi, maka seorang pemimpin yang satyagraha harus siap dan rela memperjuangkan kebenaran tersebut meski harus berkorban menindak tegas tanpa pandang bulu mereka yang melanggar.

Baca juga:  Kepemimpinan dari Perspektif Wayang

Ketiga, seorang pemimpin mengutamakan kemandirian (swadeshi). Cinta dan bangga terhadap apa yang dimiliki, dan menggunakan apa yang dimiliki. Kemandirian yang awalnya dimaksudkan untuk lebih mencintai produk sendiri dibandingkan produk asing dapat juga digunakan dalam konteks sekarang, bahwa
pemimpin mestinya mampu menjadi teladan dalam menggunakan semua produk lokal daripada produk import.

Prinsip berikut terkait erat dengan sebelumnya, bahwa seorang pemimpin harus mampu menunjukkan kesederhanaan dan bersahaja. Kesederhanaan bukan berarti menunjukkan kemiskinan. Seorang pemimpin yang baik tidak mempertontonkan kemewahan meski memiliki harta berlimpah, seperti tidak mengenakan
barang-barang mewah, tidak menunjukkan kepemilikan barang-barang luxurious, dan tidak bergaya hidup kelas elite serta tidak meminta pelayanan istimewa.

Manakala mereka yang dipimpin banyak dalam kondisi kekurangan dan kemelaratan, pemimpin yang bersahaja adalah mereka yang menunjukkan kualitas diri internal yang berempati kepada mereka yang serba kekurangan. Tentu akan lebih baik uang berlimpah tersebut digunakan membantu mereka yang membutuhkan daripada dihambur-hamburkan untuk menunjukkan kemewahan dan prestise.

Baca juga:  Era Baru Tongkat Estafet Kepemimpinan Ditangan Generasi Muda

Yang paling prinsip dalam kepemimpinan Gandhi adalah pentingnya nilai-nilai moral yaitu kejujuran dan integritas. Pemimpin yang jujur adalah pemimpin yang tulus hati dan apa adanya dalam menjunjung kebenaran, sedangkan integritas artinya konsistensi antara
pikiran, perkataan, dan perbuatan, yang dalam ajaran Hindu disebut Tri Kaya Parisudha (tiga perbuatan yang disucikan).

Seorang pemimpin yang jujur dan berintegritas artinya apa yang dipikirkan didasari oleh kebenaran, perkataan
mengandung kebenaran, dan perbuatannya pun mengimplementasikan kebenaran. Contoh sederhananya, bila pemimpin berpikir bahwa KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) itu tidak benar, maka dalam perkataannya akan konsisten menyuarakan ketidakbenaran tersebut, dan selanjutnya yang terpenting mengimplementasikannya dalam kehidupan untuk tidak melakukan KKN tersebut.

Seperti dalam kutipan kata-kata bijak dari Mahatma Gandhi “A man is but the product of his thoughts. What he thinks, he becomes” artinya manusia merupakan produk dari pemikirannya, apa yang dipikirkan, itu yang dia terjadikan.

Penulis, Guru Besar Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *