Oleh Marjono
Indonesia terus bergerak, karena negeri ini sudah berkali masa menghelat pemilihan umum (pemilu). Bahkan hingga pergelaran pesta demokrasi yang tinggal dalam hitungan hari saja, justru perilaku elite dan masyarakat belum sepenuhnya membaik. Noktah hitam menjelang pemilu masih menganga di hadapan mata kita, seperti praktik kampanye hitam dan atau kampanye negatif, intimidasi, penolakan warga, politik identitas, klaim-klaim keberhasilan, bersilang lapor, berbalas sindir, tiba-tiba kreatif jadi penyair dan beragam komentar nyinyir lain, suburnya produksi hoaks, dll.
Ke-aku-an, ego terus menjulur. Semestinya itu sudah harus bergeser menjadi kami dan kita untuk mengawal sukses praktik demokrasi raya. Kerelaan kita melerai dan menengahi mereka yang bertikai pendapat dengan cara santun dan meneduhkan bakal menjadi oase, peneduh terik suhu politik.
Namun demikian, jika kita melihat gejala belakangan ini, nampaknya masing-masing pihak tak mau di dahului, tak mau disebut sub-ordinat. Mereka ramai-ramai, berlari mengayuh siapa paling cepat membuat move sehingga tak sedikit yang berkerja ekstra keras mencari panggung bahkan menguasai panggung.
Berjualan kisah, boleh-boleh saja, namun sudah sebaiknya, semua pihak belajar mengendalikan diri, menahan hati dan menguasai ambisi tanpa merendahkan mimpi. Tak perlu dihinggapi rasa gengsi, jika harus mengadopsi cara maupun strategi konvensional yang tetap relevan, ampuh dan tidak rentan membelah persatuan bangsa.
Menjelang D-day pemilu 2024, semestinya semua pihak mengusung dan menawarkan sesuatu yang baru yang berkonten nilai edukasi, khususnya demokrasi. Bagaimana membuat semua orang layak menjadi kawan diskusi yang baik dan lawan berpikir yang cerdas.
Politik Gaduh
Kala semua itu on the track, kita memastikan makin mengokohkan mental baru yang produktif, tekun mawas diri dan berupaya mendekatkan esensi dan substansi demokrasi. Menjauhkan dan mengindarkan gelaran kontestasi otot, ketimbang otak. Kekerasan verbal bergeser, sementara kekerasan fisik pun tak lagi mengoyak media masa online dan offline.
Aneka praktik baik serupa mesti terus kita rawat, memiskinkan blunder ataupun bumerang dalam menjahit asa klimaks pemilu. Tingkat artisipasi politik menjadi pertarungan pelik dalam penentuan negeri lima tahun mendatang.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menargetkan tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu 2024 meningkat dibanding Pemilu 2019 lalu. Pemilu 2019 tingkat partisipasi pemilih kumulatif secara nasional mencapai 82 persen. Maka kemudian, pada Pemilu 2024 ini tingkat partisipasi harus lebih baik dari Pemilu kemarin. KPU menargetkan di atas 82 persen.
Lingkaran Survei Indonesia (LSI) sempat merilis temuan bahwa persentase pemilih golput pemilihan presiden
pada Pemilu 2019 lalu sebesar 19,24 persen. Angka itu menurun jika dibanding pada Pilpres 2014 yang mencapai 30,42 persen. Semoga Tahun 2024, angka golput semakin kurus lagi, meskipun tak pernah ada dalam sejarah pemilu bebas golput 100 persen.
Itulah kemudian, penting kita lakukan proses edukasi politik, seperti sosialisasi, simulasi, kampanye, debat capres/cawapres, pemasangan alat peraga kampanye (APK). Sebenarnya, rakyat sudah paham atas hak dan kewajiban pemilu, sehingga yang justru paling dibutuhkan adalah edukasi keteladanan dari para elit, menyangkut konsistensi, kejujuran, keterbukaan, tidak gaduh, tidak devide et impera maupun tidak standar ganda.
Menekan konflik
Rakyat itu gampang, masyarakat itu sederhana saja. Pertanyaannya kemudian adalah pemilu itu event atau perilaku. Jika pemilu hanya dimaknai sebagai event pesta atau hajat demokrasi dengan anggaran yang tidak sedikit, atau sebatas agenda politik lima tahun sekali, maka saat pesta pemilu usai digelar selesai sudah tugas negara itu.
Sebaliknya, kita bisa memperlakukan aktivitas pemilu lebih dari sekadar program. Di sini perlu acauan dan
role model bagi setiap warga sehingga mampu membuat rakyat termotivasi, tergerakkan dan terlibat langsung turun tangan pada pra-saat dan pascapemilu. Contoh perilaku riil dari para elit dan politisi juga media yang sarat nilai kebaikan, merangkul semua elemen, juga menenteramkan bukan mustahil dapat menekan
angka golput dan konflik politik tak berulang pada pemilu 2024 mendatang.
Dengan pengalaman yang menyenangkan dan riang, maka rakyat dengan kesadaran penuh akan mewakafkan suaranya di bilik TPS. Terpenting lagi, terjadi penaikan penyadaran baru bahwa pemilu itu bukan melahirkan budak-budak baru politik. Dari kacamata brand manajement, hajat pemilu kemudian menjadi brand positioning.
Memperlakukan pemilu sekadar sebagai sebuah
program hanya berdampak sesaat, tetapi mem-
perlakukan pemilu sebagai sebuah perilaku akan
berimplikasi sampai kepada anak cucu kita, masa
depan bangsa.
Penulis, Kepala UPPD/Samsat Kabupaten Tegal, Jawa Tengah