Rumawan Salain. (BP/kmb)

Oleh Putu Rumawan Salain

Kota bukan hanya sebagai tempat tinggal, hidup, dan bermata pencaharian belaka, namun kota juga sebuah kenangan, cita-cita, dan bahkan bagi sebuah ibu kota Negara dapat menjadi simbol sekaligus menggambarkan visi yang disandangnya. Sebutlah IKN yang sedang dibangun di Kalimantan dirancang penuh visioner dalam bingkai Forest City, Smart City, dan lainnya.

Bagaimana dengan kota- kota yang telah dibangun ratusan tahun lalu di Indonesia, Bali, dan khususnya Kota Denpasar? Kebanyakan kota-kota di Indonesia dibangun atau dikembangkan dari kota-kota peninggalan masa kerajaan.

Sebutlah misalya Jakarta (Sunda Kelapa), Yogyakarta, Surakarta di Jawa, kemudian diluar Jawa ada Kota: Palembang, Pontianak, Baubau, dan lainnya. Kota–kota tersebut tidak jarang juga bertumbuh dikarenakan dilengkapi dengan pelabuhan sebagai pusat perdagangan.

Kemudian setelah era pengaruh kolonial Belanda beberapa kota juga tumbuh dengan mengekplorasi alam, khususnya pertambangan seperti di Sawahlunto untuk pertambangan batubara. Kota tersebut dibangun pada tahun 1892 yang lalu. Selain itu ada pula kota pertambangan batubara lainnya yang ada di Kalimantan Timur yaitu Kota Samarinda pada tahun 1888 dan di Provinsi Kalimantan Selatan di Kota Banjarmasin tahun 1849 yang lalu.

Baca juga:  Mengkreasi Kota Polisentris

Keberikutnya ada pula kota yang dikembangkan oleh kolonial Belanda berupa perkebunan seperti teh, tembakau, karet, jati, dan lainnya. Kota Medan merupakan salah satu contoh perkebunan tembakau yang sangat populer “tembakau Deli”. Pola masing-masing kota tersebut tentu sangat berbeda misalnya kota yang tumbuh karena kehidupan agraris, perdagangan, dan industri “pertambangan”. Yang sangat membedakannya adalah pola dan dimensi jalan termasuk alat transportasinya. Infrastruktur jalan yang sangat terkenal adalah era penjajahan Belanda yang dipimpin oleh Herman Willem Daendels yang membangun jalan dari Anyer hingga Penarukan-Jawa Timur sepanjang 1.100 Km dengan tujuan perekonomian dan mobilisasi militer.

Adanya jalan ini tentu mengubah perkembangan kota-kota yang dilaluinya.

Bagaimana dengan Bali? Bali yang belakangan dikuasai Belanda, tumbuh dan berkembang dengan kekuatan tradisi berupa pusat-pusat wilayah yang ditandai atau atas penguasa kerajaan-kerajaan yang tersebar di wilayah Pulau Bali. Pola ruang wilayah kerajaan di Bali telah tertulis ketika Kerajaan Gelgel di Klungkung dibangun dengan pedoman Asta Bumi. Diduga pada saat tersebut sampai dengan pecahnya kekuasaan Gelgel ke seluruh Bali, lahirlah kerajaan baru dengan pola wilayahnya menggunakan grid iron atau papan catur, juga dapat disebut dengan perempatan atau pempatan.

Baca juga:  Pembangunan Bali dan Era Revolusi Industri 4.0

Pempatan adalah empat ruas jalan yang saling memotong tegak lurus, terkadang ada yang menyebutkan dengan margi nyatur desa. Pempatan yang dimensi lebih besar dan berada pada lokasi Puri disebut dengan Pempatan Agung atau pun Catus Patha.

Konsep pusat wilayah berupa fungsi-fungsi tersebut diatas umumnya dikenal sebagai Pempatan Agung atau
Catus Patha. Catus Patha adalah salib sumbu Kaja-Kelod sebagai representasi alam (Gunung-Laut, atau Hulu-Teben) dengan Kangin-Kauh sebagai representasi edar matahari atau dimaknai sebagai terbit”lahir”-terbenam “mati”.

Konon penentuan titik Catus Patha ditetapkan pada saat edar dan posisi matahari terhadap bumi pada sasih tertentu. Catus Patha diyakini menjadi sumber energi ruang wilayah yang bersinergi dengan budaya. Di setiap areal Catus Patha selalu menjadi lokasi Ngider Bhuwana, baik Purwa Daksina maupun Prasawya.

Ibu kota wilayah kota dan kabupaten di Bali dapat dikatakan merupakan keberlanjutan dari ibu kota kerajaan masa sebelum kemerdekaan. Dengan demikian di setiap kerajaan “puri” selalu memiliki Catus Patha. Dalam pola Catus Patha telah ditetapkan bahwa pada arah Timur Laut adalah letak Puri, di arah Tenggara untuk perumahan Patih atau keluarga Puri, di Barat Daya digunakan sebagai areal peken “pasar”, sedangkan di Barat Laut adalah ruang terbuka disebut dengan bencingah.

Baca juga:  BMKG Mencatat Kota Palu Sebagai Daerah Terdingin

Di beberapa wilayah kerajaan di Bali ada yang tidak sama konsepnya seperti Puri Agung di Bangli, Puri Agung Mengwi di Mengwi, dan Puri Agung Buleleng di Singaraja. Perbedaan pola tersebut diakibatkan oleh karena penetapan gunung “kaja” sebagai titik orientasinya.

Perkembangan Catus Patha

Awalnya Catus Patha adalah ruang kosong. Ketika Belanda meruntuhkan Puri Denpasar, maka pada titik
pusat dari Catus Patha dibangun Lonceng sebagai
penanda waktu “Kala”. Demikian selanjutnya
oleh pemerintah dibangun patung Catur Muka.

Hilangnya Catus Patha bukan hanya kehilangan
identitas akan tetapi kita kehilangan makna seka-
ligus pusat energy ruang yang bersinergi dengan
budaya. Mari kita llestarikan dan rawat bersama.

Penulis, Arsitek, pengamat Perkotaan

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *