Ir. Dharma Gusti Putra Agung Kresna. (BP/Istimewa)

Oleh Agung Kresna

Janji kampanye Pemilu 2024 mulai bertebaran. Taburan janji bahkan sempat membuat banyak pihak mengernyitkan dahi. Ada calon legislator (caleg) memasang baliho bahwa jika partainya menang pemilu 2024, maka iuran BPJS akan dikenakan gratis pada semua warga negara. Apakah mereka paham berapa besar dana BPJS dan ketersediaan dana APBN-nya?

Janji kampanye sedikit banyak dapat membuat was-was masyarakat terhadap kiprah para wakil mereka jika nantinya terpilih dan duduk di parlemen. Apakah yang mereka janjikan akan benar-benar mereka tepati, atau hanya sekedar menjadi gimmick saat kampanye. Para pemilih harus mencermatinya sejak masa kampanye ini.

Pengalaman selama ini memang acap kali menunjukkan bahwa mereka yang terpilih sering berkilah saat konstituen menagih janji kampanye. Aspirasi yang mereka gaungkan selama kampanye dikatakan sedang mereka perjuangkan; karena ada peraturan perundangan yang harus mereka penuhi agar apa yang mereka janjikan saat kampanye dapat direalisasikan.

Otonomi daerah di Indonesia yang bergulir sejak 2004, secara signifikan memang telah mengubah paradigma pengelolaan pembangunan. Otonomi daerah di Indonesia diputuskan diletakkan di kabupaten/kota. Kewenangan politik pembangunan yang sebelumnya cukup besar dan terpusat di Jakarta, menjadi tersebar ke seluruh pelosok kabupaten/kota di Indonesia.

Baca juga:  Manajemen Talenta, Kunci Daya Saing Bangsa

Selama ini masih ada kesan bahwa caleg di tingkat provinsi belum sepenuhnya siap dengan situasi ini. Sehingga masih ada janji kampanye caleg provinsi yang sulit direalisasikan, karena yang dijanjikannya merupakan ranah otonomi kabupaten/kota; atau bahkan pemerintah pusat. Masyarakat harus pintar menakar janji kampanye yang tidak masuk akal dari para caleg.

Sementara bagi para calon senator lebih memiliki latar belakang keterwakilan yang jelas. Sejak dari pencalonan, senator dipilih sebagai wakil masyarakat provinsi yang akan duduk di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang berada di tingkat nasional. Namun calon senator juga harus memahami bahwa DPD memiliki keterbatasan dalam kuasa perundangannya.

Materi yang menarik biasanya berbau “angin surga”, namun realisasinya butuh waktu lama, bertahun-tahun dan bertahap. Sementara masa jabatan calon terpilih (utamanya kepala daerah) hanya 5 tahun sehingga ada keterbatasan waktu guna mewujudkan yang dijanjikannya. Padahal calon yang terpilih membutuhkan cerita “sukses” dalam 5 tahun masa jabatannya.

Baca juga:  Perekonomian Bali Menyusut -1,14 Persen, Pertanda Apa?

Akibatnya calon yang menang akan membuat kegiatan yang realisasinya kurang dari 5 tahun dan biasanya ini tidak ada dalam janji kampanye. Karena materi kegiatan ini tidak akan menarik bagi para pemilih jika ditawarkannya pada saat kampanye, karena tidak terasa ada bau “angin surga”nya.

Pada pengalaman beberapa pilkada terjadi janji kampanye yang sangat memikat, sehingga akhirnya sang calon terpilih dan memenangi pilkada. Namun pada masa jabatannya, kepala daerah tersebut justru melakukan hal-hal yang remeh, tetapi menawan sebagai legacy dalam masa jabatannya. Sehingga terkesan bahwa dia “sukses” melaksanakan jabatannya.

Hal ini terjadi karena seiring berjalannya waktu, biasanya para konstituen sudah lupa dengan apa yang dijanjikan dan ditawarkan calon pada saat kampanye. Konstituen hanya melihat apa yang dikerjakan calon terpilih dalam masa jabatannya, meski sebenarnya hal itu tidak sesuai dengan apa yang dijanjikannya pada saat kampanye.

Baca juga:  NFT: Memasarkan Karya Seni dengan Teknologi

Kondisi ini tentu tidak sehat bagi masyarakat. Karena saat konstituen memilihnya tentu karena apa yang dijanjikan dan ditawarkannya pada waktu kampanye. Sementara pada saat menjabat dia tidak menunaikan janjinya, karena janji tersebut memang sulit dilaksanakan.

Namun, agar tetap memikat, dikerjakannya hal-hal yang menawan sebagai legacynya. Menepati janji harus menjadi misi utama para calon. Pengawasan kampanye para calon perlu terus dilakukan, agar janji yang pernah disuarakan pada saat kampanye dapat ditunaikan dengan baik saat terpilih. Meski calon berawal dari partai politik tertentu, namun setelah duduk sebagai pejabat mereka tidak boleh lagi hanya melayani kelompoknya.

Penulis Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *