Oleh Nyoman Sukamara
Dalam ilmu ekonomi dikenal fenomena kutukan sumber daya alam, dimana eksploitasi sumber daya alam sebagai model pembangunan ekonomi di banyak negara tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan dan kemajuan bangsa. Bahkan sebaliknya banyak negara dengan sumber daya alam berlimpah tenggelam dalam kemiskinan bahkan kekacauan sosial-politik.
Menurut Schumpeter, kunci utama perkembangan ekonomi adalah para inovator dan wiraswasta. Kemajuan ekonomi suatu masyarakat hanya bisa terwujud dengan adanya inovasi oleh para entrepreneur (Arsyad, 1999). Dengan demikian, sumber daya manusia (SDM) lah penentu kesejahteraan bangsa dan negara.
Inovasi Indonesia masih rendah. Ekonomi Indonesia masih bertumpu pada sumber daya alam. Tak hanya inovasi yang masih rendah, secara keseluruhan, daya saing bangsa Indonesia juga belum berkembang dengan baik, yang ditunjukkan oleh hasil pemeringkatan beberapa tema daya saing, seperti Indeks Inovasi Global, Indeks Ekonomi Pengetahuan, dan Indeks Pembangunan Manusia. Demikian dikemukakan President Knowledge Management Society Indonesia (KMSI) Prof. Jann Hidajat Tjakraatmadja.
Dibandingkan ekonomi ekstraktif sumber daya alam, industri pariwisata lebih berpotensi melahirkan ekonomi berkelanjutan dan inklusif. Bahkan pariwisata di klaim sebagai industri tanpa polusi. Namun keberlangsungannya sangat rentan terhadap faktor-faktor eksternal (ekonomi, politik, keselamatan dan keamanan). Bali yang mengembangkan sejak 1970-an, telah menikmati hasil industri pariwisata. Pariwisata sudah memberikan kontribusi besar terhadap pendapatan pemerintah dan juga memberikan kesejahteraan sebagian masyarakat, sekaligus telah menunjukkan beberapa kelemahannya. Erupsi Gunung Agung pada tahun 2017 dan kemudian Covid-19 telah memorakporandakan industri pariwisata yang mengakibatkan terpuruknya ekonomi Bali. Ekonomi Bali mengalami kontraksi lebih dari mines 5 % dan tertinggi di Indonesia, dan Kabupaten Badung, yang sangat bergantung pada pariwisata, mengalami kontraksi sebesar mines 16,5 persen, tertinggi di Bali selama Covid-19. Kondisi ini menegaskan kerentanan industri pariwisata.
Dari uraian di atas, ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian dalam pembangunaan Bali berkelanjutan dan inklusif. Pertama, pembangunan Bali seharusnya dilakukan dengan mengembangkan secara sinergis sektor-sektor strategis: Pertanian, industri pengolahan dan periwisata, yang sesungguhnya berhulu pada budaya pertanian (Sukamara, Disertasi FEB UNUD, 2017). Sejalan ini, dengan berbagai analisisnya, Bappenas menegaskan pentingnya membangun perekonomian Bali yang tidak hanya bergantung pada pariwisata, tetapi juga pembangunan pertanian dan industri agro (Transformasi Ekonomi Bali, Peta Jalan Ekonomi Kerthi Bali Menuju Bali Baru: Hijau Tangguh dan Sejahtera, 2021). Pemerintah Provinsi dan pemerintah kabupaten/kota karenanya seharusnya mengembangkan perekonomian dengan basis ke tiga potensi sesuai unggulan wilayah.
Kedua, perlunya pemerintah membangun ekosistem pertanian, industri dan pariwisata yang terintegrasi dan sinergis antara ke tiga sektor dan antarwilayah kabupaten/kota sehingga dapat memberi manfaat proporsional bagi wilayah dan bagi yang terlibat yakni pemerintah, investor, pekerja dan masyarakat. Pemerintah Provinsi Bali sudah menyusun beberapa kebijakan berkaitan dengan ini (al: Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2013 tentang Perlindungan Buah Lokal). Hanya saja, agar kebijakan-kebijakan bisa diimplementasikan secara efektif, konsisten dan terus menerus, diperlukan dukungan SDM di semua lini, termasuk masyarakat.
Ketiga, pentingnya pengembangan SDM. Laporan Bappenas mengungkapkan SDM ketenagakerjaan sebagai hambatan pertumbuhan ekonomi Bali. Agak di luar pandangan umum, produktivitas tenaga kerja di Provinsi Bali, lebih rendah dibandingkan produktivitas tenaga kerja di beberapa provinsi, antara lain jauh lebih rendah, dibandingkan produktivitas tenaga kerja di Jakarta. Dengan kondisi ini, maka pembangunan SDM dalam berbagai bidang: ilmu dasar, vokasi dan pendidikan karakter termasuk bagi masyarakat menjadi suatu keniscayaan. Untuk itu, diperlukan program-program pengembangan kompetensi oleh pemerintah maupun oleh swasta di semua level di tiga sektor.
Sebelum terlambat, Pemerintah Provinsi dan kabupaten/kota seharusnya lebih besar menginvestasikan anggaran untuk membangun SDM alih-alih untuk hal-hal yang konsumtif, bahkan untuk hal-hal karitatif yang bersifat jangka pendek, tidak struktural yang bisa jadi memanjakan dan mengooptasi tanggung jawab masyarakat. Pemerintah perlu merevitalisasi lembaga-lembaga pelatihan menjadi lembaga pengembangan kompetensi (teknis, manajerial dan entrepreneurship) dengan berbagai program yang bisa diakses oleh beragam talenta muda dari seluruh lapisan masyarakat, termasuk pengiriman mereka untuk mengikuti pengembangan kompetensi di luar Bali bahkan di luar negeri. Sama pentingnya adalah kegiatan sosialisasi, edukasi/literasi masyarakat sehingga dapat lebih terlibat dalam program pemerintah.
Tenaga terdidik dan terampil di berbagai bidang diharapkan mampu melahirkan inovasi di tiga sektor sebagai modal dasar pembangunan berkelanjutan dan inklusif. Talenta-talenta ini akan menghasilkan produk-produk dengan nilai tambah semakin besar sehingga berdaya saing, tidak saja lokal, tetapi di Indonesia dan dunia.
Penulis, Widyaiswara BKPSDM Provinsi Bali