DENPASAR, BALIPOST.com – Ribuan lalat masih menyerbu sejumlah kawasan di Kintamani, Bangli hingga Selasa (16/1). Tingginya populasi lalat di Kecamatan Kintamani sangat mengganggu kenyamanan dan keamanan masyarakat setempat dan wisatawan yang berkunjung ke lokasi tersebut.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh warga masyarakat seperti penyemprotan dengan cairan kimia dan non-kimia, penggunaan lem dan lain sebagainya, namun populasi lalat belum dapat dikendalikan dan dikurangi.

Pakar pertanian dari Dwijendra University Denpasar, Profesor Gede Sedana, mengungkapkan pengendalian lalat tidak dapat dilakukan secara parsial. Misalnya lokasi tertentu, sesaat, para petani, pengelola pariwisata ataupun bagian lainnya. Namun harus dilakukan secara sistemik berbasis ekosistem.

Baca juga:  lndonesia Hentikan Beri Visa WNA Punya Riwayat ke India

Dikatakannya, beberapa hal yang dapat dilakukan adalah menghentikan penggunaan pupuk mentah atau belum diproses dari kotoran hewan. Seperti kotoran ayam di tingkat petani. Perlu diketahui bahwa kotoran ayam mentah tersebut sejatinya menjadi habitat lalat untuk semakin berkembang biak secara cepat.

Sederhananya adalah habitat lalat perlu dihilangkan. Namun karena saat ini sudah banyak penggunaannya, maka sangat diperlukan adanya proses komposting secara lokal.

Baca juga:  Peradah Bali Bangun "Mindset" Wirausaha Mahasiswa

Misalnya dengan mencampurkan kotoran ayam tersebut dengan tanah yang ditambahkan fermentor. Penggunaan EM4 atau sejenisnya dapat dilakukan guna menghindarkan adanya bau busuk yang sangat merangsang lalat untuk datang berkembang biak.

Rektor Dwijendra yang meraih profesor di bidang pertanian ini menyarankan perlunya pemurnian lingkungan udara, tanah dan air perlu secara berkelanjutan dilakukan untuk mencegah adanya perkembangbiakan lalat yang tinggi. Pemurnian lingkungan dapat dilakukan dengan penggunaan ecoenzym yang telah membuktikan manfaatnya untuk menjaga lingkungan secara alami.

Baca juga:  Banyak Lalat di Kintamani Dikeluhkan Wisatawan

Penggunaan larutan sintetis atau kimia,kata dia, adalah langkah terakhir yang bisa dilakukan guna menghindari kerusakan lingkungan fisik, biologi dan ekologi. (Sueca/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *