I Gusti Ketut Widana (BP/Dokumen)

Oleh I Gusti Ketut Widana

“Disayangkan, “Krama” Dilarang Ngaben di Setra. Bendesa Tegaskan demi Tegakkan Aturan”, demikian judul berita Bali Post (Selasa, 9/1). Bermula seorang ayah yang (mantan) Ketua LPD Budeng melakukan penyalahgunaan (penyimpangan/penggelapan) keuangan lalu oleh paruman desa dikenai sanksi sosial antara lain  “tidak mendapatkan pelayanan adat”, selain pengembalian dana. Persoalannya merembet, justru sang anak (almarhum)  yang terkena dan merasakan sanksinya, berupa larangan ngaben di setra (kuburan) setempat, hingga terpaksa berpindah ke tempat krematorium Tegal Badeng Timur.

Untuk kesekian kali penerapan sanksi adat model begini mewarnai kehidupan krama Bali yang dikenal sangat sosialistis-religius berdasarkan nilai-nilai ajaran agama Hindu. Meskipun dalam praktiknya acapkali dikalahkan  sebuah sanksi atas nama (arogansi) adat. Padahal secara umum, setiap awig-awig/pararem banjar/desa adat di Bali pada bagian Dwityas Sargah (bab 2) tentang “Pamikukuh lan Patitis” Pawos (pasal) 2, dengan jelas menempatkan Pancasila sebagai landasan ideologis dan Tri Hita Karana (THK) sebagai pedoman etis, yang antara lain bertujuan: “ngraketang pasikian maparikrama lan ngutamayang rasa tulung-tinulung ring sajroning makrama (banjar/desa) ritatkala ngawentenang karya pasukadukan inggian abot dangan” (menguatkan persatuan/kesatuan bermasyarakat dan mengutamakan rasa tolong-menolong sebagai anggota banjar/desa tatkala mengadakan suatu kegiatan suka-duka, baik berat maupun ringan).

Baca juga:  Ibu, Sang ’’Wonder Women’’

Sebagaimana  diajarkan Mpu Kuturan, perihal THK yang kemudian   diimplementasikan desa adat, tujuan filosofisnya adalah mewujudkan “kasukertan” (keamanan/ketertiban), tidak saja dalam konteks hubungan religis (vertikal/niskala/parahyangan) umat dengan Tuhan, dan hubungan harmonis (sakala/palemahan) manusia dengan alam, tetapi lebih penting lagi terjalinnya hubungan sinergis (horizontal/pawongan) antarmanusia. Tidak ada artinya jika dalam urusan parahyangan (Pura dan Yadnya) dapat dilaksanakan dengan bergairah, meriah bahkan tampak megah dan mewah, namun dalam tataran pawongan justru satu sama lain tak jarang bertingkah, berulah lalu memantik masalah.

Baca juga:  Preservasi "Heritage" dalam Perubahan Iklim

Itulah sebabnya penting sekali diaktualisasi ajaran THK, khusus bidang pawongan melalui penerapan falsafah hidup bermasyarakat, seperti suka-duka dalam kebersamaan dengan menunjukkan rasa asah-asih-asuh, Bersatu padu, menghargai pendapat orang lain dan saling mengingatkan, menyayangi dan tolong-menolong (paras paros sarpanaya, saguluk sagilik salunglung sabayantaka). Lalu dengan bijak menganggap apapun yang terjadi, baik-buruk, benar-salah sebagai sesuatu yang wajib dimiliki atau setidaknya dimaklumi bersama (druwenang sareng), bukan langsung dengan gercep menyerang (druwene serang). Bagaimanapun, sesama krama Bali adalah keluarga (nyama braya) tidak boleh sampai terjadi persaudaraan hancur (nyama brenye).

Sehingga jika ada krama yang salah atau membuat masalah, sepanjang masih bisa diselesaikan dengan musyawarah mufakat, lebih bijak dicarikan solusi secara kekeluargaan. Bukan sebaliknya selalu menjadikan perangkat hukum (adat) sebagai alat untuk dengan arogan menjatuhkan sanksi. Kalaupun akhirnya menjatuhkan sanksi, semestinya bersifat personal (individual) bukan ditanggung renteng pihak lain dalam hal ini anggota keluarga, apalagi sang anak. Karena kasus penyimpangan yang dilakukan orang tua tersebut pasti motif awalnya tidak melibatkan anak atau keluarganya.

Baca juga:  Angin Kencang Rusak Rumah di Budeng

Jenis sanksi tanggung renteng ini mengesankan karakter adat (desa/banjar) seakan-akan tampil sebagai lembaga “penguasa” dimana perangkat/prajurunya  bertindak sebagai pemegang kekuasaan atau kewenangan yang bisa saja dijalankan dengan sewenang-wenang. Apalagi jika diteruskan dengan pengenaan sanksi kasepekang (pengucilan), semakin menunjukkan arogansi adat, sekaligus melanggar ajaran agama. Sebab, sebagaimana disuratkan kitab Manawadharmasastra II.6, kedudukan hukum adat (tergolong cara) lebih rendah daripada ajaran agama yang tersurat di dalam  Weda (Sruti – Smrti) dan Sila (teladan suci). Karena itu tidak dapat diterima jika adat  yang sebenarnya berasal dari kebiasaan-kebiasaan (tradisi/dresta), justru dalam penerapan sanksinya mengingkari, bahkan melanggar ajaran agama.

Penulis, Dosen Fakultas Pendidikan UNHI Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *