Beberapa wisatawan berjalan menyusuri jogging track di Pantai Sindhu, Denpasar. (BP/Dokumen)

 

DENPASAR, BALIPOST.com – Pungutan pajak 40% sampai 75% dinilai tidak rasional di saat ekonomi sedang pulih. Walaupun pengenaan pajak dikenakan ke objek usaha hiburan dan termasuk spa di dalamnya, namun tetap saja hal tersebut tidak adil.

Alasannya, sektor usaha tersebut cukup banyak menyerap tenaga kerja apalagi usaha spa di Bali belum pulih sepenuhnya dari pandemi Covid-19. Perwakilan Bali Spa Wellness Associaton (BSWA) Feny Sri Sulistiawati mengatakan, jumlah usaha spa sebanyak 911 namun sebelum pandemi Covid-19 jumlahnya 1.139, yang mana 40 persennya merupakan day spa (di luar hotel).

Ada 1.500 terapis bersertifikasi yang bekerja pada industri spa. Sementara di Bali sendiri anggota BSWA mencapai 185.

Akademisi ekonomi dari Undiknas Prof. IB Raka Suardana, Selasa (16/1) mengatakan, pengenaan pajak 40 persen itu merupakan aturan turunan dari UU tentang hubungan keuangan pusat-daerah yaitu UU nomor 1 tahun 2022. Memang, salah satunya memasukkan objek pajak hiburan sebesar 40 persen hingga 75 persen.

Baca juga:  Tak Lakukan Instruksi, Gubernur Ajak Bicara Bupati Badung

Namun yang disayangkan adalah spa dimasukkan ke dalam hiburan, padahal spa adalah wellness (kebugaran) untuk kesehatan. “Perlu diingat bahwa spa di Bali berbeda dengan spa lain. Saya juga tidak mengerti kenapa spa itu masuk ke dalam hiburan,” tandasnya.

Prof. Raka juga dibingungkan dengan pengenaan objek pajak setinggi itu. “Pada objek lain, tidak ada yang setinggi itu, tapi karena pajak hiburan itu dianggap orang menikmati untuk kesenangan, sehingga berapapun uangnya untuk hiburan, akan dibayar, dan itu dimanfaatkan pemerintah untuk mengenai pajak,” jelasnya.

Baca juga:  Badung akan Bangun Taman Delta di Dalung

Namun menurutnya, pengenaan pajak itu di momen ini tidak tepat apalagi di Bali. Spa di Bali bertujuan untuk kebugaran yang bersifat tradisional. Maka dari itu, ia menyarankan untuk mengakalinya dengan mengubah nama spa menjadi pijat tradisional. “Jadi masukkan ke pijat tradisional jangan spa. Berarti hotel ganti pakai pijat kebugaran dan termasuk olahraga di Bali,” imbuhnya.

Sementara Pengamat Pariwisata Bali, Prof. Putu Anom, dihubungi Selasa (16/1) mengatakan, spa di Bali dominan merupakan spa untuk kebugaran ala tradisional Bali dengan menggunakan bahan–bahan dan rempah-rempah Bali. Sistem kebugaran tradisional Bali ini sudah lama dilakukan masyarakat Bali bahkan permintaan dari wisatawan, sistem kebugaran tradisional Bali ini juga dilakukan pada wisatawan asing. Sehingga sistem kebugaran tradisional Bali yang kerap disebut maboreh ini menjadi salah satu ikon produk spa di Bali. Maka dari itu, ia menyayangkan spa masuk ke dalam kategori hiburan. Usaha spa di Bali banyak dikembangkan hingga ke desa–desa yang menggunakan bahan–bahan tradisional dan teknik pijat ala Bali yang disebut Balinese massage.

Baca juga:  COVID-19 Memicu "Tsunami" Kebencian dan Xenophobia

Ketua BSWA IGNIP sebelumnya menyebutkan bahwa industri spa menjadi salah satu penopang pariwisata di Bali, bahkan di industri hotel, selain menjual kamar dan makanan (restoran), divisi spa sangat digemari.

Dengan peran industri ini terhadap ekonomi Bali terutama pariwisata yang mana Bali baru pulih, maka disayangkan jika pajak tinggi dikenakan pada objek spa yang notabene bukan hiburan, melainkan kebugaran. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *