DENPASAR, BALIPOST.com – Media Sosial dihebohkan dengan peristiwa tragis di sejumlah tempat di Badung dan Denpasar. Aksi kekerasan yang diduga dilakukan sejumlah remaja pada malam hari membuat “Bali Tidak Baik-baik Saja” menggema di jagat maya. Bahkan banyak yang menilai Bali tak aman lagi di malam hari.
Tiga peristiwa yang viral yakni kasus pembunuhan di Sempidi yang diduga kuat dilakukan geng motor, Selasa dini hari (16/1), kasus penyerangan di Cemagi pada Rabu dini hari (17/1), dugaan penganiayaan di Jalan Gunung Soputan, Denpasar dan aksi begal di malam hari. Belum diketahui secara pasti motif rentetan peristiwa berdarah itu. Namun, banyak pihak yang khawatir, apalagi peristiwa terjadi malam hari, bahkan dini hari.
Tak sedikit yang mengecam kejadian itu hingga polisi didesak untuk mengungkap dan menangkap pelakunya. Peranan orangtua, pihak sekolah, patroli aparat penegak hukum hingga menghidupkan kembali siskamling menggema di medsos.
Menyikapi peristiwa beruntun itu, praktisi hukum Dr. M. Sukedi, S.H., M.H., Rabu (17/1) berpendapat bahwa secara teori hukum, kenakalan remaja itu ada dua penyebab secara umum yakni internal dan eksternal. Secara teori dan praktik keduanya mempunyai pandangan yang sama. Internal dari pihak pelaku, dan eksternal bisa dari keluarga, lingkungan dan sekolah.
“Yang terpenting dari kenakalan remaja, yang teridentifikasi akhir-akhir ini cukup membuat kita miris. Kita sebagai orangtua mestinya ikut bertanggung jawab. Peranan keluarga sangat besar mencegah terjadinya kenakalan remaja ini,” ucap doktor hukum yang merupakan lulusan terbaik di Universitas Udayana itu.
Lanjut Sukedi, yang paling inti di lingkungan keluarga adalah orangtua. Orangtua bisa memberikan basic pendidikan keagamaan, moral seperti jika menyakiti orang, atau berbuat jahat pasti punya akibat. Perilaku itu tidak hanya merugikan orang lain, tapi juga keluarga, lingkungan sosial dan berimplikasi pada lingkungan sekolah yang tercemar.
Lantas, apa solusinya? Dr. Sukedi mengatakan, keluarga harus dikuatkan utamanya nilai keagamaan. “Apapun agamanya. Karena tidak ada agama yang membenarkan adanya kekerasan dalam bentuk apapun dalam kenakalan remaja,” ucap Sukedi.
Praktisi hukum ini menambahkan, kedua adalah eksternal yakni sekolah. Intensitas ketemu orangtua dengan sekolah, kadang lebih banyak sekolah dengan anak. Peran sekolah dalam hal ini memberikan laporan rutin tentang anak didik pada orangtua. Sekolah bisa monitor aktivitas anak.
Pihak eksternal lainnya adalah aparat penegak hukum (APH), seperti kepolisian. Polisi bisa melakukan edukatif, tidak perlu represif. Misalnya, jika tercium adanya gelagat mencurigakan adanya kerumunan anak-anak remaja sedang nongkrong hingga larut malam, apalagi minum-minuman keras, mutlak polisi melakukan pendekatan secara persuasif. “Ini yang perlu digalakkan, walau selama ini sudah cukup. Tetapi sekali lagi perlu digalakkan lagi, karena titik kumpul para remaja sangat banyak di Bali, bahkan berjamuran ada di mana-mana. Bahkan ada buka 24 jam. Tidak salah jika APH melakukan penyisiran jika ada segerombolan remaja nongkrong hingga larut malam,” jelasnya.
Karena, lanjut dia, jika dibiarkan akan memicu titik-titik adanya gesekan. Inilah perlu dilakukan pencegahan. Apa yang dilakukan APH, ya edukasi dan langkah persuasif bahwa keluar di atas jam 10 malam harus jelas alasannya. Sehingga tidak menimbulkan tindak pidana. “Harus ada kontrol sosial di sana,” ucap Sukedi.
Oleh karenanya, dia sepakat bahwa aparat APH bersama masyarakat lingkungan terdekat melakukan patroli berkesinambungan. Setidaknya APH juga menerjunkan patroli yang bersifat penyamaran untuk mengetahui secara dini potensi yang terjadi di masyarakat.
Dari perspektif hukum, Dr. Sukedi menjelaskan bahwa UU Perlindungan Anak sejatinya sudah memberikan efek jera disana. Lanjut dia, jika pelaku tindak pidana merupakan anak di bawah umur, yang memang perlu mendapatkan perlakuan khusus atau tidak sama dengan orang dewasa, maka penekanan hukumnya tetap mengacu pada UU Perlindungan Anak.
Salah satunya juga ada pendampingan Bapas dan proses persidangan dibedakan dengan orang dewasa.
“Saya kira jika itu diterapkan dengan benar, saya yakin sangat bisa. Efeknya apa, setidaknya pelaku tidak mengulangi perbuatannya, tidak menularkan potensi kejahatannya pada lingkungan terdekat,” ulas Dr. Sukedi.
Praktisi hukum lainnya, Agus Gunawan Putra juga sangat menyayangkan peristiwa kekerasan yang diduga melibatkan anak remaja terjadi. Melihat fenomena terjadi belakangan ini, dia sangat berharap siskamling kembali digalakkan. “Secara kewilayahan siskamling itu sangat dibutuhkan saat ini supaya masyarakat dan aparat terdekat bisa mengontrol wilayahnya masing-masing,” ucap Agus Gunawan Putra.
Lanjut dia, hal itu diharapkan bisa menekan anak muda melakukan perbuatan tercela. Yakni, bisa mencegah terjadinya kerumunan hingga larut malam, apalagi disertai mabuk-mabukkan. Jika siskamling diaktifkan, bisa mencegah aksi kriminalitas.
Nah soal peristiwa terjadi banyak di malam hari, Agus Gunawan berpandangan jika malam hari pelaku lebih mudah melakukan aksinya, karena situasi sepi dan masyarakat sudah pada tertidur. “Nah disinilah sinergi aparat dan masyarakat sangat diperlukan. Patroli malam hari terus digalakkan,” ucapnya.
Tidak hanya polisi, namun sinergi aparat desa, termasuk pecalang, polisi dan TNI harus diterus ditingkatkan. Praktisi hukum ini bahkan berpendapat wajib hukumnya patroli kewilayahan ditingkatkan. “Wajib itu (patroli). Karena peristiwa berdarah belakangan ini adalah peringatan bagi kita. Kita harus hati-hati. Apalagi punya anak remaja. Peran orangtua, pihak sekolah itu sangat penting,” bebernya.
Terkait dengan efek jera bagi pelaku yang nantinya ketangkap, dia sependapat jika pelakunya dihukum maksimal. “Proses hukum diberlakukan. Tapi pencegahan juga sangat diperlukan,” ucapnya.
Salah satu pencegahan, selain giatkan pengamanan dan patroli, juga sinergi orangtua dengan sekolah misalnya. Dari teknologi, perlunya CCTV di berbagai tempat strategis, khususnya di tempat yang selama ini banyak dikerumuni anak-anak muda. (Miasa/balipost)