Oleh Sahadewa
Dimensi formalitas hukum memang perlu untuk menegakkan konstitusi akan tetapi menjadi tanpa makna lagi ketika sudah termanipulasi oleh politik. Politik tidak dipakai untuk penyempurnaan agar amanat penderitaan rakyat dapat terimplementasikan dalam kerangka program yang menyentuh dasar kebutuhan selain kebutuhan dasar rakyat. Untuk itulah tulisan ini hendak disusun.
Ketika ketatanegaraan disesuaikan dengan tata negara maka kesadaran untuk bernegara akan lebih dimajukan jika masyarakat disadarkan oleh penguasa. Bukan sebaliknya masyarakat yang berusaha keras menyadarkan penguasa. Ini berarti penguasa tersebut adalah penguasa yang berkualitas sekalipun tidak selalu tinggi kualitasnya minimal sudah memainkan peran penting sebagai yang lebih dulu sadar akan amanat penderitaan rakyat itu misalnya. Selanjutnya masyarakat ataupun bahkan rakyat tidak disusahkan dengan memikirkan pemimpin yang penuh masalah ataupun yang akan bermasalah sekalipun tidak penuh masalah.
Oleh karena itulah maka dalam tulisan ini hendak ditekankan ataupun digarisbawahi bahwa pertama, penguasa dan rakyat mesti bersatu padu bukan saling main kucing-kucingan dalam ranah negara terutama oleh para penguasa. Kedua, penguasa mesti mampu untuk memosisikan diri sebagai yang patut terus belajar kepada rakyat bukan menjadi peniru atas kemajuan bangsa dan negara lain sampai berusaha secara membabi buta apa yang terjadi di negara lain untuk diterapkan tanpa melihat akar budaya bangsa sendiri.
Pada kesempatan ini disebutkan bahwa sekalipun negara tidak mungkin tanpa pemerintah akan tetapi lebih baik lagi ada negara namun dengan pemerintah yang tidak sekedar sah secara hukum. Oleh karena itu setiap ketatanegaraan dan kepemerintahan dicerahkan oleh satu kata (minimal) yaitu anti-pembodohan. Inilah dasar untuk menciptakan masyarakat yang maju untuk mampu jika memang ingin seperti negara maju yang lain dalam arti kemajuan yang sebenarnya.
Ketika masyarakat sudah semakin tidak dibodohkan maka yang terjadi sesuai dengan pembukaan UUD 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Inilah poin penting agar terhindar dari malapetaka. Malapetaka tidak jarang karena kebodohan. Kebodohan tidak jarang karena menyalahgunakan kepintaran sehingga orang Jawa misalnya menggunakan semacam pepatah atau adagium Ojo Pinter Tapi Minteri. Untuk itu dalam tulisan ini ditegaskan bahwa pertama, tidak boleh melecehkan rakyat dengan memanipulasi termasuk memanipulasi hukum.
Kedua, tidak diperkenankan untuk menjadikan kepintaran melupakan masa depan yang ditentukan oleh buah dari perbuatan. Ketiga, ketatanegaraan dan kepemerintahan tidak terjebak dalam kata “wajib” melainkan senantiasa tercerahkan oleh perkataan siap selalu melayani untuk kecerdasan yang berdasarkan kepada hati nurani.
Keempat, kecerdasan yang berdasarkan hati nurani adalah kecerdasan yang tidak semata-mata kecerdasan spiritual apalagi kecerdasan otak belaka melainkan kecerdasan yang sudah diolah untuk membentuk pemimpin yang punya hati nurani peka terhadap apa yang terjadi. Termasuk apa yang terjadi dengan istilah pelanggaran etik berat dalam konstelasi kasus di MK beberapa waktu lalu itu.
Di sinilah sebagai perumpamaannya peran orang tua untuk mengingatkan anak jika teringat penguasa sebagai orang tua rakyat jika memang demikian untuk mengingatkan jangan bertindak lebih lanjut secara gegabah jika sudah ada keputusan pelanggaran etik berat itu. Namun, apa yang terjadi bahwa tampaknya pemimpin kita mesti banyak belajar lagi tentang apa itu etik dan pelanggaran etik berat. Jika memang belum mengerti maka belajarlah kepada rakyat.
Inilah yang kemudian menjadi semacam keprihatinan ternyata baru sebatas itulah kadar para pejabat atau pun calon pejabat. Ini berarti bahwa perlu ada kepatutan dalam menentukan kelayakan di level kepartaian yang telah digunakan hanya untuk kepentingan-kepentingan sesaat padahal partai itu sendiri juga tidak luput dari pembiayaan yang berasal dari uang rakyat.
Ketatanegaraan dan kepemerintahan mesti mampu tidak hanya menciptakan rasa malu namun mampu untuk mengingatkan (Jawa: ngelingke) bahwa jika ada pelanggaran etik berat semestinya sudah yang mampu untuk mengingatkan siapa lagi kalau bukan negara dan bangsa ini apabila orang tua pun dalam konstelasi ketatanegaraan dan kepemerintahan tidak mampu untuk itu.
Keterangan dari keputusan MKMK misalnya yang menyatakan adanya pelanggaran etik berat ternyata tidak mampu menjadi seorang tua untuk bisa menasehati anaknya agar kelak tidak terjebak dalam situasi yang tidak kondusif. Demikian partai-partai tidak berdaya dengan kejadian seperti itu. Ini menunjukkan bahwa ada yang salah dalam ketatanegaraan dan kepemerintahan.
Penulis, Dosen Fakultas Filsafat UGM