I Nyoman Sucipta. (BP/Istimewa)

Oleh I Nyoman Sucipta

Krisis pangan dengan cepat menjadi bagian dari realitas dunia sehingga, lonjakan harga pangan tidak dapat dihindari. Laju inflasi di dalam negeri diperkirakan sedikit melandai pada Januari 2024, dibandingkan dengan posisi pada akhir 2023. Inflasi pada Januari 2024 mencapai 0,29% secara bulanan (month-to-month/mtm), lebih rendah dari 0,41% mtm pada Desember 2023.

Penurunan tersebut disebabkan oleh normalisasi permintaan pasca liburan natal dan tahun baru, juga penurunan inflasi bahan makanan. Penurunan inflasi bahan makanan didorong oleh deflasi harga cabai merah dan cabai rawit, seiring dengan panen yang terjadi di beberapa daerah.

Sementara harga pangan tertentu, seperti daging ayam ras, bawang merah, dan beras, masih mengalami inflasi,” pada Januari 2024 mencapai 2,56% (year-on-year/yoy), juga turun tipis dari Desember 2023 sebesar 2,61%. Yoy. Perkembangan ini dipengaruhi oleh laju inflasi harga bergejolak atau volatile food, terutama pada harga pangan.

Kenaikan harga pangan merupakan salah satu isu dalam ekonomi yang kompleks dan ditentukan oleh berbagai faktor. Faktor-faktor ini melibatkan aspek produksi, distribusi, konsumsi, serta faktor eksternal seperti perubahan iklim dan kebijakan pemerintah. Untuk memahami mengapa harga pangan naik, perlu mengevaluasi beberapa elemen utama yang berkontribusi pada dinamika pasar pangan. Faktor paling utama yang mempengaruhi kenaikan harga pangan adalah jumlah permintaan dan penawaran di pasar. Selanjutnya, adalah faktor kondisi iklim dan musim tanam. Meskipun, sebagian besar bahan pangan dapat diproduksi sepanjang tahun, namun ada beberapa komoditi yang memerlukan waktu khusus untuk produksinya.

Baca juga:  Hadapi El Nino, Stok Beras Diklaim Kondisi Aman

Biaya produksi juga sangat memengaruhi harga di pasar. Faktor biaya, termasuk harga pupuk, pestisida, dan energi, memainkan peran penting dalam menentukan harga pangan. Jika biaya produksi meningkat, petani mungkin akan menaikkan harga jual mereka untuk mempertahankan keuntungan.

Biaya produksi yang tinggi juga dapat memotivasi petani untuk beralih ke tanaman atau metode produksi yang lebih menguntungkan, yang mungkin berdampak pada pasokan pangan. Kebijakan pemerintah juga tidak bisa lepas dari naik turunnya harga pangan. Kebijakan pemerintah, seperti subsidi, pajak, atau regulasi perdagangan, dapat mempengaruhi harga pangan. Nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing juga turut memiliki andil dalam penentuan harga pangan, khususnya untuk produk impor. Negara yang bergantung pada impor pangan mungkin terkena dampak fluktuasi nilai tukar mata uang.

Laju Inflansi

Laju inflasi adalah persentase kenaikan harga yang pengukurannya dilakukan berdasarkan Indeks Harga Konsumen (IHK). Perubahan harga barang atau jasa tersebut bisa menurunkan daya beli masyarakat karena nilai mata uang yang rendah tidak seimbang dengan kenaikan harga barang yang tajam. Sejumlah analis dan ekonom global memperkirakan laju inflasi menjinak pada tahun depan, seiring dengan turunnya harga komoditas.

Penurunan inflasi tahun 2023 akan berlanjut pada tahun 2024: inflasi inti berurutan diperkirakan turun dari 3% saat ini ke kisaran rata-rata 2-2,5% di seluruh G10 (tidak termasuk Jepang), menurut  Goldman, dikutip dari Wall Street Journal dan CNBC Internasional. Bank Indonesia (BI) juga telah mematok target inflasi tahun 2024 di kisaran 1,5% sampai dengan 3,5%, turun dari sasaran inflasi pada tahun ini sebesar 2%-4%. Meskipun potensi inflasi akan menyentuh batas atas di level 3,2% pada tahun depan karena tekanan harga energi dan pangan global akibat konflik Ukraina-Rusia serta Israel-Palestina, dan el-nino.

Baca juga:  Hadir Virtual, Presiden Ukraina Minta G20 Pastikan Keamanan Pangan

Diperkirakan tahun depan juga masih akan terkendali meskipun agak sedikit meningkat karena memang harga energi dan pangan global, tapi masih terkendali dalam kisaran 2,5% plus minus 1%. Indonesia pun percaya diri inflasi akan mampu terkendali di bawah 3%, yakni di level 2,8%, sebagaimana ditetapkan dalam asumsi makro APBN 2024.

Meski begitu, pemerintah turut mengakui efek El Nino tahun 2024 berpotensi mengganggu upaya pengendalian inflasi. Untuk mengantisipasi hal itu, pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp108,8 triliun untuk ketahanan pangan dalam APBN 2024 yang terdiri dari belanja pemerintah pusat sebesar Rp89,6 triliun dan transfer ke daerah sebesar Rp19,2 triliun.

Guna mencapai target inflasi 2024 ini, pemerintah, mempunyai sejumlah strategi termasuk menerapkan kebijakan moneter dan fiskal yang konsisten dengan upaya mendukung pengendalian inflasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi; mengendalikan inflasi pangan yang tidak stabil agar dapat terkendali di bawah lima persen dengan fokus pada komoditas beras, aneka cabe, bawang. Target inflasi ini akan tercapai asalkan pemerintah pada tahun 2024 ini tidak melakukan kebijakan kenaikan administrative price inflation atau tidak menaikkan harga-harga barang yang diatur oleh pemerintah.

Sementara dari faktor global tidak akan ada faktor-faktor penting yang bisa mengerek inflasi global, kecuali jika ada kejadian-kejadian yang tidak terduga. Jadi artinya dorongan global untuk mendorong inflasi di domestik itu juga relatif rendah, kecuali ada hal-hal yang tidak terprediksi, misalnya faktor geopolitik.

Baca juga:  Antisipasi Potensi Krisis Pangan, Bali Siapkan Empat Program Prioritas

Jadi kalau tiba-tiba ada konflik, yang konfliknya itu melibatkan negara-negara yang punya pengaruh terhadap komoditas atau terhadap harga minyak, ini yang  tidak bisa prediksikan dan kalau itu terjadi berarti memang akan berpengaruh terhadap inflasi global.

Laporan World Economic Outlook (WEO) Januari 2024 dari International Monetary Fund (IMF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global sebesar 3,1 persen pada tahun 2024, naik 0,2 poin persentase dari prediksi sebelumnya yang tercatat dalam WEO Oktober 2023. Adapun pada tahun 2025, IMF memperkirakan ekonomi dunia bertumbuh 3,2 persen.

Di sisi lain, lonjakan harga komoditas baru akibat guncangan geopolitik dan gangguan pasokan dapat memperpanjang kondisi moneter yang ketat. “Masalah sektor properti yang semakin dalam di China, atau di tempat lain, (dan) peralihan yang mengganggu pada kenaikan pajak dan pemotongan belanja juga bisa menimbulkan (risiko) penurunan pertumbuhan (growth disappointments).

Di satu sisi, disinflasi yang lebih cepat dapat menyebabkan pelonggaran kondisi keuangan lebih lanjut. Kebijakan fiskal yang lebih longgar dari perkiraan dapat menyiratkan pertumbuhan lebih tinggi untuk sementara, tetapi dengan penyesuaian lebih mahal di kemudian hari.

Juga momentum reformasi struktural yang lebih kuat dapat meningkatkan produktivitas dengan dampak lintas batas (cross-border spillovers) yang positif.

Guru besar Program Studi Teknik Pertanian dan Biosistem Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *