Prof. Ratminingsih. (BP/Istimewa)

Oleh Made Ratmininggsih

Isu politik dinasti belakangan memang sedang marak dalam pencalonan capres dan cawapres 2024. Sebenarnya fenomena ini sudah sejak lama ada di sekeliling kita, hanya saja baru menjadi trending topik dan cenderung menjadi isu panas karena ada fenomena baru dalam kepemimpinan demokratis yang berlaku dalam sistem pemerintahan di Indonesia, yakni seseorang, yang punya keterkaitan keturunan dengan presiden yang sedang menjabat, menjadi cawapres dalam Pemilu 2024.

Kata dinasti merupakan sebuah istilah dalam sistem kerajaan dimana yang memerintah negara adalah seorang raja, yang kepemimpinannya dilanjutkan atau diwariskan oleh keluarga atau keturunannya selama bertahun-tahun dalam waktu yang lama. Sebagai contoh adalah dinasti Ming, sebuah dinasti yang terkenal di Tiongkok yang berkuasa antara 1368-1644 Masehi.

Sementara itu, dalam negara yang menganut sistem presidensial, negara dipimpin oleh seorang presiden yang dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum (Pemilu), yang berlandaskan demokrasi. Demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu kata ‘demos’ yang artinya rakyat dan ‘kratos’ artinya kekuasaan atau pemerintahan. Jadi demokrasi berarti kekuasaan atau pemerintahan oleh rakyat.

Baca juga:  Fenomena “Lipstick Effect”

Rakyat berpartisipasi dalam menentukan pemimpin. Oleh karena itu, jelas bahwa dalam negara yang menganut sistem demokrasi ini, pemimpin tidak ditentukan oleh garis keturunan, tetapi oleh pilihan rakyat sendiri secara langsung.

Terdapat beberapa ciri negara yang menganut sistem demokrasi yaitu supremasi hukum artinya hukum di atas segalanya. Artinya semua warga negara termasuk para pejabat tunduk pada hukum yang berlaku.

Kedua adalah persamaan atau kesetaraan di mata hukum yang bermakna bahwa pemberlakuan hukum tidak mendiskriminasi warganya. Tidak tumpul ke atas atau tidak tajam ke bawah. Ketiga adanya jaminan konstitusional terhadap HAM artinya warga negara dijamin hak-haknya oleh konstitusi, seperti hak (kebebasan) berpendapat, hak beragama, dan hak perlakuan yang sama di depan hukum.

Tentu dua jenis sistem pemerintahan ini memiliki plus minus. Dalam sistem dinasti, kekuatannya adalah kestabilan pemerintahan. Dengan kestabilan tersebut, pemimpin mampu lebih efektif melakukan pembangunan untuk mencapai kemajuan.

Selain membawa kemajuan, sistem dinasti memiliki kekuatan yaitu melakukan kontinuitas pembangunan di segala sektor yang telah dilakukan oleh pendahulunya. Sebagai pewaris tahta, pemimpin berikutnya tidak mungkin membuat kebijakan baru yang mengubah drastis kebijakan sebelumnya, apalagi bertentangan, yang dapat berdampak buruk yakni diskontinuitas pembangunan yang telah dikembangkan.

Baca juga:  Penting, Jaga Integritas Demokrasi di Pemilu

Dalam hal ini seorang pewaris yang berasal dari keturunannya cenderung akan melanjutkan segala sesuatu yang telah dikerjakan pendahulunya. Bahkan bila pewaris tahta ini memiliki kompetensi dan visioner dengan inovasi, niscaya negara yang dipimpin olehnya akan terus berkembang pesat dan menjadi negara yang maju.

Sementara sisi kelemahan dari sistem dinasti adalah rawan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). KKN mudah dilakukan karena penguasa dalam sistem ini akan memilih dan menentukan orang-orang terdekatnya untuk mendukung kepemimpinannya. Mereka dapat melakukan konspirasi dan kerjasama dengan mudah dalam menggunakan dana dan anggaran, yang menguntungkan pribadi dan kelompoknya.

Sementara itu, kekuatan dari sistem demokrasi adalah pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pemimpin yang ditentukan oleh rakyat adalah pemimpin yang selalu mendahulukan kepentingan dan kesejahteraan rakyat, bukan untuk golongan tertentu saja. Oleh karena penduduk Indonesia terdiri atas berbagai etnis,suku, dan agama, kepemimpinan demokrasi menjadi sistem yang cocok karena mampu mengakomodasi berbagai kepentingan dan aspirasi masyarakat yang majemuk.

Baca juga:  Paradigma Pendidikan 4.0 Ancaman atau Peluang

Kelemahannya adalah setiap ada transisi kepemimpinan, sering terjadi ketidakstabilan politik dan keamanan menjelang PEMILU, karena masing-masing partai yang berkompetisi dapat ‘menghalalkan’ segala cara dalam mendapatkan suara rakyat.

Meski pada kepemimpinan demokrasi segala sesuatu sudah diatur secara konstitusional, kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) juga dapat terjadi bila pejabat menyalahgunakan kekuasaan demi untuk menguntungkan keluarga dan kelompoknya. Kelemahan lainnya adalah kurang efisien dan ekonomis ketika menentukan pemimpin periode berikut, karena prosedur Pemilu memakan waktu yang lama dan membutuhkan dana yang besar.

Apapun sistem kepemimpinan yang dipilih oleh suatu negara, kemajuan atau kemunduran terletak pada pemimpinnya. Oleh karena itu, mari kita memilih pemimpin yang beradab dan berahklak mulia serta menjunjung tinggi supremasi hukum.

Penulis, Dosen Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *