Oleh Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra
Tanggal 14 Februari 2024 menjadi hari penting bagi kebudayaan Bali, karena di hari kasih sayang (Valentine Day) itu, wisatawan mancanegara (wisman) dilibatkan secara langsung untuk menyayangi dan merawat budaya Bali. Pada hari itu pungutan 10 dolar AS atau setara Rp150 ribu bagi wisman ke Bali mulai diberlakukan. Pungutan itu sah, karena didasari Peraturan Daerah Provinsi Bali sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2023 tentang Provinsi Bali dan diperuntukan bagi perlindungan budaya serta alam Bali.
Bila diasumsikan target kunjungan wisman ke Bali pada tahun 2024 tercapai 7 juta orang, maka besaran pungutan bagi wisman akan ada pada kisaran Rp1 triliun per tahun. Jumlah yang cukup besar kalau dilihat secara sepihak. Tetapi di lain pihak, bila jumlah itu dibandingkan dengan yang dikeluarkan oleh masyarakat Bali untuk tujuan yang sama, yaitu merawat budaya, angka Rp1 triliun belumlah sebanding. Menurut hasil riset para pakar ekonomi, konsumsi ritual dan perawatan budaya Bali mencapai 10 persen dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pulau seribu pura ini.
Catatan Biro Pusat Statistik; PDRB Bali Tahun 2023 mencapai Rp69,63 triliun, sehingga dana perawatan budaya oleh masyarakat Bali sendiri mencapai Rp6,96 triliun. Orang Bali pada umumnya tidak pernah berhitung, apalagi mempermasalahkan konsumsi ritual dan perawatan budaya yang jumlah pertahunnya begitu tinggi. Bagi orang Bali kebanyakan, konsumsi ritual dan perawatan budaya merupakan dharma agama. Karena pemahaman agama menurut orang Hindu dapat dilakukan melalui tiga pendekatan.
Pertama, dengan memahami filosofi agama (tattwa). Kedua, melalui pelaksanaan etika dalam kehidupan bermasyarakat (susila). Ketiga, dengan cara melakukan upakara dan pengorbanan atau yadnya (upakara). Jadi tattwa, susila dan upakara sudah menjadi panduan hidup dan keseharian bagi orang Bali. Sebagaimana telah lama disadari, budaya merupakan sumber daya tak benda yang menjadi modal dasar bagi pariwisata Bali. Teori modal budaya yang dikembangkan oleh Pierre Bourdieu pada tahun 1970-an, sangat terbukti secara empirik dalam kepariwisataan Bali.
Menurut teori ini, modal budaya terdiri dari sumber daya tak berwujud yang dapat memberikan dampak signifikan terhadap kesuksesan ekonomi. Sumber daya budaya mencakup pengetahuan, keterampilan, sifat dan faktor lain yang terkait dengan budaya dan masyarakat, yang mempresentasikan diri orang Bali sebagai mahluk sosial sekaligus mahluk ekonomi (economicus). Modal budaya telah menciptakan keunggulan komparatif bagi pariwisata Bali, sehingga Bali tidak pernah luput dari predikat sebagai destinasi pariwisata terbaik di dunia.
Karena kondisi itu, menjadi tepat dan sangat strategis pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa sumber daya budaya (tak benda), semakin digali akan semakin mensejahterakan masyarakat dan mendukung keberlanjutan ekonomi. Sedangkat sumber daya alam (benda) seperti minyak dan gas bumi, semakin digali akan semakin mensengsarakan masyarakat dan mengganggu keberlanjutan. Kita harus pertegas, terutamanya mendukung program pemerintah hilirisasi, yang mana menurut sintesa pemikiran kami, bahwa budaya sebagai aset tak benda (intangbel aset) dalam suatu pengelolaan manajerial sistem sosialnya dalam manajemen pembangunan, mereka sendiri telah melahirkan pemikiran atau ide-ide, menumbuhkan atau mengembangkan ide-ide tersebut dalam suatu wujud aset berwujud dan tak berwujud, serta menyesuaikan dengan peradaban atau mengadaptasikan dalam evolusi era, ini semua berasal dari cara / proses dari ide sampai menjadi sebuah akhir yang bernilai berasal dari konsep original budayanya yang telah mereka bangun. Sehingga sangat tepat bersintesa dengan konsep Hiirisasi yang dicetuskan oleh Presiden Joko Widodo.
Karena Bali & daerah lainnya yang memiliki potensi sama, yang tidak perlu mengejar perkembangan daerah2 industri, karena bali dan juga daerah-daerah lainnya yang merupakan pengenjawantahan budaya nusantara yang merupakan puncak-puncak budaya-budaya daerah, memiliki potensi yang sangat besar, karena Indonesia memiliki keistimewaan atau semacam DNA justru berkarya di dalam berkesenian dan berkebudayaan secara umum. Karena kenyataan itu pula, kalau pemerintah dari dulu berani menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (APBN/APBD) minimum 20 persen untuk pendidikan, mengapa tidak misalnya di kemudian hari dapat menetapkan minimal 10 persen dari APBN/APBD untuk perawatan budaya. Semoga pemikiran baik dating dari segala arah.
Penulis, Pencinta Ekonomi Budaya dan alumni Program Doktor Ilmu Manajemen FEB Unud