Oleh : I Gusti Ketut Widana
Seperti sudah menjadi hafalan umat Hindu bahwa hari suci Galungan adalah momen kemenangan dharma atas adharma. Meski dalam amalannya seringkali “nungkalik”, lebih-lebih pada era zaman Kwida aali sekarang ini justru adharma yang tampak kian eksis. Antara lain ditandai terjadinya krisis, tidak saja alam (bhuwana agung), juga pada manusia (bhuwana alit).
Terutama krisis nilai, seperti pelanggaran etik dan moral yang celakanya ditunjukkan kalangan elit (pejabat/penguasa). Sampai kemudian karena dianggap kian melabrak norma kesusilaan, kepatutan atau kepantasan, termasuk hukum, akhirnya memantik reaksi berbagai kalangan, terutama dunia kampus (perguruan tinggi) yang harus diakui sebagai penjaga marwah nilai-nilai pendidikan (etik-moral) dan kebudayaan (keadaban).
Tak keliru jika Choue (1983) menyatakan, bahwa “kurun waktu yang kita arungi sekarang dianggap banyak pemikir sebagai abad krisis, karena berbagai krisis yang mendasar terjadi di dalamnya. Manusia akan berhasil melampaui krisis ini dengan membuat loncatan kuantum dalam evolusi budayanya”. Caranya dengan melakukan perubahan berpikir, dari tidak memperhatikan nilai-nilai budaya dan agama, menjadi lebih menghargai dan merealisasikannya ke dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai dimaksud sejatinya sudah tercermin dalam ajaran dharma.
Saat Galungan yang dilaksanakan pada Rabu Kliwon wuku Dungulan (28 Maret) kali ini menjadi moment penting untuk terus mendengungkan penegakan nilai-nilai dharma — kebenaran, kejujuran dan kebajikan. Walaupun realitanya belum menggaung di kalangan umat Hindu, lantaran lebih fokus konsentrasinya pada urusan ritual (persembahan bebanten). Ditambah kegiatan lain sebagai penyerta seperti ngelawar, kadang bikin bazzar dan tak ketinggalan memancang Penjor sebagai simbol kemenangan dharma atas adharma. Meski dalam pencermatan justru yang menguat fenomena “mamenjor”, bagian bambu lurus ditanam sedangkan yang bengkok-melengkung dihias dengan berbagai ornamen penambah keindahan yang kadang berlebihan, sehingga berubah menjadi Penjor-joran, dan layak disebut “Penjor lebay”.
Ungkapan “mamenjor” adalah semacam sindiran bagi siapapun yang menunjukkan perilaku suka membenamkan (mengabaikan) nila-nilai dharma, serta dengan bangga menampilkan perbuatan adharma (keburukan, kejahatan), termasuk melanggar konstitusi yang merugikan orang/pihak lain, bahkan rakyat. Tren seperti ini, sebenarnya sudah sejak dulu ditengarai kitab Manusmrti, I.86, terkait kecenderungan “mamenjor” di zaman Kali Yuga. Dianalogikan seperti sebuah kursi dengan empat kaki, tetapi kini hanya tertinggal satu kaki dharma, sementara tiga kaki lainnya menopang adharma. Jika diskor kedudukan dharma vs adharma adalah 1 : 3, suatu keadaan zaman yang oleh masyarakat Jawa dikatakan sebagai zaman edan : sopo ora melu edan ora keduman, siapa tidak ikutan gila tidak akan dapat apa-apa.
Pernyataan ini semakin diperkuat suratan Kakawin Niti Sastra IV, 9-10 yang menyatakan : “Karena pengaruh zaman Kali, manusia menjadi kegila-gilaan, suka berkelahi, berebut kedudukan yang tinggi-tinggi. Mereka tidak mengenal dunianya sendiri, bergumul melawan saudara-saudaranya. Kutuk tak berarti lagi, hak istimewa tidak berlaku; semua itu karena perbuatan orang-orang angkara murka, tingkah laku hina dianggap utama, kebodohan dinamakan kebijaksanaan, orang yang rendah budinya disebut mulia, sungguh suatu anggapan yang aneh, dan orang-orang yang seharusnya berperilaku benar/baik justru bertindak salah”.
Fenomena “negakin” dharma inilah yang perlu diwaspadai menjelang hari suci Galungan. Lalu hikmah apa yang dapat dipetik ?. Tiada lain, kembali pada esensinya sebagaimana disuratkan dalam lontar Sundarigama : Budha Kliwon Dungulan ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep. Artinya : Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan bersatunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran. Implementasinya, dengan modal pikiran terang benderang dan kesadaran rohani sepatutnya umat Hindu melakukan loncatan besar, dari ritualitas menuju pengagungan moralitas, kemudian menunjukkannya dalam bentuk perilaku berdasarkan etika/susila. Itulah bukti kemenangan dharma.
Penulis, Dosen Fak. Pendidikan UNHI Denpasar