SINGARAJA, BALIPOST.com – Hari Raya Galungan dan Kuningan selalu dirayakan dengan penuh kemeriahan. Suasana persiapan dilakukan sejak jauh-jauh hari.

Tidak terkecuali saat Hari Penampahan Galungan yang jatuh pada Selasa, Anggara Kliwon Wuku Dungulan atau sehari sebelum Hari Galungan.

Uniknya, saat momen ini, krama yang memotong daging babi acap kali melakukan tradisi mepatung.

Tradisi ini rutin dilakukan setiap enam bulan sekali oleh Sekaa Angklung Sabda Ulangan di Banjar Dinas Taman Sari, Desa Padangbulia, Kecamatan Sukasada.

Sekaa yang berjumlah 27 orang ini pun sejak enam bulan lalu melakukan urunan dan menyisihkan upah megambel untuk ditabung di bendahara sekaa. Kemudian, saat terkumpul mereka akan membeli babi untuk disembelih.

Baca juga:  Tradisi Siat Sampian di Pura Penataran Sasih

Kelian Sekaa Wayan Walia pada Selasa 27 Februari 2024 menjelaskan, sesuai dengan kesepakatan krama, pihaknya kembali melakukan mepatung serangkaian Hari Raya Galungan.

Setiap sekaa nantinya akan mendapatkan bagian masing-masing sebanyak 3-4 kilogram daging babi.

Sementara itu dikonfirmasi terpisah, Dosen Ilmu Budaya Prodi Ilmu Komunikasi Hindu, STAHN Mpu Kuturan SIngaraja, Putu Mardika menjelaskan makna di balik tradisi mepatung yang merupakan ciri jika konsep menyama braya masyarakat di Bali masih lestari.

Masyarakat yang akan membeli babi umumnya dilakukan secara gotong royong baik dari sisi pendanaan maupun dari sisi proses penyembelihan.

Baca juga:  Majukan Budaya Bali, Gubernur Koster Ajak Yowana Terus Berinovasi

Umumnya mepatung ini bisa lewat sekeha, suka-duka, ikatan banjar atau juga lewat dadia. Dari sana proses pengumpulan uang untuk membeli babi yang akan disembelih saat Penampahan Galungan.

Ia mengungkapkan, tradisi mepatung bisa menjadi solusi di tengah perekonomian yang kian menghimpit. Sebut saja, jika seekor babi yang beratnya 120 kilogram yang dihargai paling murah Rp 3 juta, masyarakat bisa mepatung sampai 10 orang. Itu artinya, cukup mengeluarkan uang hanya Rp 300 ribu untuk mendapatkan satu paket daging babi.

Selain menguntungkan dari sisi ekonomi, tradisi mepatung juga menjadi kohesi sosial atau mengikat hubungan sosial antar masyarakat. Sebab, proses mulai menangkap babi, memotong, membagikan menjadi bagian kecil harus membutuhkan tim kerja yang solid.

Baca juga:  18 Juni, Puncak Arus Balik Iduladha di Gilimanuk

Tentu saja hubungan ini harus terus dipelihara demi melestarikan konsep menyama braya. Bahkan, tidak jarang para krama sering berbagi menu hidangan olahan daging babi sebagai upaya mempererat hubungan sosial.

Ia pun berharap, tradisi mepatung tetap dipelihara agar tetap tumbuh subur. Selain itu, Lembaga Perkreditan Desa, BUMDes, Koperasi, yang merupakan lembaga keuangan di desa bisa menjadi lokomotif atau pihak ketiga yang ikut menjaga tradisi mepatung sehingga kian meringankan masyarakat. (Nyoman Yudha/balipost)

Simak selengkapnya di video

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *