Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si. (BP/kmb)

Oleh : I Gusti Ketut Widana

Polda Bali mulai tanggal 4-17 Maret 2024 menggelar Operasi Keselamatan Agung dan Aksi Keselamatan Jalan dengan tujuan menciptakan kondusivitas kamtibmas dan kamseltibcarlantas. Salah satu sasarannya menindak pengguna motor berknalpot brong yang dianggap meresahkan pengguna jalan dan masyarakat sekitar (balipost.com).

Setidaknya sebelum itu, pada bulan Januari 2024, Satlantas Polresta Denpasar telah menyita 148 buah knalpot bising (brong) yang tidak sesuai spesifikasi (BP, Jumat 29/1). Mengutip berbagai pemberitaan media massa, hampir seluruh Polres hingga tingkat Polda se-Indonesia melakukan tindakan serupa serta mengeluarkan larangan, baik dalam bentuk deklarasi bahkan maklumat.

Ini menunjukkan penggunaan knalpot brong sudah menjadi persoalan krusial yang tidak saja meresahkan masyaralat, sekaligus mudah memantik masalah. Tak salah jika dikatakan suara knalpot brong bikin orang “brangasan”, yang dalam bahasa Jawa berarti mudah sekali naik darah dan gemar berkelahi; atau ganas dan kasar (https://kbbi.web.id>berangasan).

Baca juga:  Pungli Masih Terjadi, Ini Dilakukan Polresta

Faktanya, pengguna jalan lain dan masyarakat sekitar acapkali dibuat resah lalu terpancing marah lantaran suara bising yang ditimbulkan sudah melebihi ambang batas normal hingga memekakkan telinga. Apalagi jika pengendara (motor) knalpot brong melibatkan banyak orang (konvoi) dengan mengusung identitas kelompok serta bendera grup (geng) disertai aksi menggeber gas sekencang-kencangnya. Rawan sekali memancing ketersinggungan lalu menyulut emosi dan reaksi dalam bentuk penghadangan, yang tak jarang berbuntut perkelahian/pengroyokan hingga memakan korban baik luka maupun nyawa.

Fenomena berseliwerannya kendaraan motor brong ini, kini menjadi perhatian ekstra pihak kepolisian sebagai penegak aturan berlalu lintas di jalan raya. Sebenarnya jika dicermati, persoalan ini relatif sederhana. Menyangkut masalah penggunaan knalpot bersuara bising yang tidak sesuai standar SNI, dan dapat mengganggu konsentrasi pengendara lainnya sehingga berpotensi menimbulkan kecelakaan lalu lintas.

Secara yuridis, aturan kebisingan knalpot ini pun sudah diatur dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 7 tahun 2009, yang menjelaskan bahwa tingkatan kebisingan untuk motor kapasitas 80cc hingga 175cc adalah maksimal 83 dB dan di atas 175cc maksimal 80 dB. (dB=Decibel/satuan keras suara). Sedangkan untuk penindakan terhadap pengendara berknalpot brong/racing sesuai dengan Undang-Undang nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) mengenai penggunaan pipa pembuang gas sisa pembakaran ini terdapat dalam pasal 285 jo ayat (1) jo Pasal 106 ayat (3) dan Pasal 48 ayat (2) dan ayat (3), dapat dipidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Baca juga:  Mengatasi Impor Kedelai

Ketentuan (aturan dan sanksi) sudah jelas, sekarang tinggal pihak kepolisian bisa lebih trengginas betindak. Tidak saja terhadap pengguna/pengendara motor tetapi akan lebih efektif lagi jika sampai di tingkat produsen dan juga bengkel perakit knalpot brong. Alur berpikirnya, jika hanya menindak para pengendaranya, sementara pihak penyuplai dan perakit dibiarkan bebas tanpa tindakan/sanksi, tak ubahnya seperti menghadang arus air tanpa menutup sumber alirannya. Ibarat kata, ratusan knalpot brong ditindak/disita bahkan dimusnahkan, ribuan lagi siap menggantikan. Apalagi merujuk aturan diatas, sebenarnya produk knalpot brong dapat dikatagorikan sebagai benda/barang terlarang, seperti halnya obat/rokok illegal misalnya.

Baca juga:  Tantangan Bahasa Bali di Era Digital

Tentu tidak sebatas itu saja, penting sekali menjadi perhatian adalah efek domino dari bebasnya pengendara berknalpot brong di jalanan, yang tentu saja berimbas pada terganggunya tertib dan keamanan berlalu lintas. Lebih mengkhawatirkan lagi dapat memantik sikap arogansi, menyulut emosi lalu memicu perilaku “brangasan”.

Secara psikologis, pengendara motor knalpot brong merasa diri sebagai “raja jalanan”, sementara pengguna jalan lain dan masyarakat sekitar bisa juga bertindak “bringas-an” lantaran merasa terusik ketenangan, ketentraman, keamanan dan kenyamanannya.

Penulis, Dosen Fakultas Pendidikan UNHI Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *