AMLAPURA, BALIPOST.com – Desa Adat Duda, Kabupaten Karangasem, hingga saat ini masih tetap melestarikan sejumlah tradisi yang dimiliki desa adat setempat. Salah satunya tradisi siat api.
Bendesa Adat Duda, I Komang Sujana mengungkapkan, tradisi siat api ini rutin digelar setiap tahunnya. Tradisi ini menyerupai perang yang diikuti oleh karma lanang atau laki-laki serta pecalang desa adat setempat. Persiapan perang api diawali dengan menggelar persembahyangan bersama di Pura Puseh Desa Pakraman Duda.
Dari Pura Puseh peserta perang api bergeser menuju Jembatan Tukad Sangsang. Tim dibagi menjadi dua kubu, mengenakan kain dengan saput poleng tanpa memakai baju. Tradisi siat api ini diringan tabuh baleganjur. Percikan api menyembur setelah dipukul dengan prakpak dari daun kelapa kering berisikan api.
Perang siat api ini melibatkan krama laki-laki di Desa Pakraman Duda. Dan tradisi ini dilaksanakan di Jembatan Tukad Sungsang, perbatasan Desa Duda Timur dengan Desa Duda.
Yang menjadi pembedanya hanya pada senjata yang dipergunakan berupa daun kelapa tua yang diikat dan dibakar atau disebut Prakpak.
Seiring perkembangan, tradisi yang digelar pada saat sandikala ini juga diiringi pementasan fragmen tari yang membuat suasananya menjadi semakin sakral. Sujana menambahkan, tradisi ini dilaksanakan sebagai upaya untuk menetralisir kekuatan negatif serta dimaknai sebagai pembersihan alam semesta untuk mengembalikan unsur alam yang ada di lingkungan Desa Adat Duda.
Melalui tradisi ini diharapkan masyarakat desa terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Selain itu, siat api juga dimaknai sebagai ujian untuk mengendalikan emosi yang terdapat dalam jiwa manusia.
Dia menjelaskan, perang api yang dilaksanakan setiap tahun sekali bertepatan dengan ritual petabuhan sebuah ritual nyomia bhuta kala berkaitan dengan Aci Usaba Dodol yang dilaksanakan di Pura Dalem dan upacara Tawur Gentuh di Pura Puseh.
Lebih lanjut dijelaskan, perang siat api ini merupakan tradisi secara turun temurun yang diwariskan oleh leluhur. Kata dia, tradisi ini sempat dihentikan setelah Gunung Agung meletus di tahun 1965, namun sejak tiga tahun terakhir tradisi adiluhung itu kembali dibangkitkan karena warga banyak yang mengkhawatirkan jika tradisi tersebut tidak pernah dilaksanakan. (Eka Parananda/balipost)