Ir. Dharma Gusti Putra Agung Kresna. (BP/Istimewa)

Oleh Agung Kresna

Karut marut tingginya harga beras telah mengganggu kestabilan ekonomi dalam skala mikro (keluarga/rumah tangga) maupun ekonomi skala makro (Negara). Berbagai siasat dilakukan keluarga Indonesia agar dapur tetap ngebul, di tengah gejolak harga beras. Sementara pemerintah juga berupaya mengendalikan gangguan atas inflasinya. Sangat tingginya konsumsi beras bangsa kita merupakan masalah kronis tersendiri. Konsumsi beras kita sekitar 111,2 kilogram per kapita (BPS, 2023). Padahal rata-rata konsumsi beras dunia hanya 50 kg per kapita (FAO, 2022). Sementara konsumsi beras yang sehat (tidak mengakibatkan diabetes) maksimum 60 kg per kapita (Kementerian Kesehatan, 2010).

Ancaman krisis pangan yang saat ini menguat, bagai menggenapi krisis ekonomi dan politik yang sudah terjadi sebelumnya; sebagai akibat perubahan lanskap geopolitik global. Semua ini terjadi sebagai ikutan dampak perubahan iklim global, disertai perang berkepanjangan antara Rusia versus Ukraina, maupun krisis Palestina. Pangan sendiri merupakan kebutuhan dasar manusia yang hakiki karena ikut menentukan kesehatan dan kecerdasannya. Presiden Soekarno saat berpidato pada peletakan batu pertama pembangunan Gedung Fakultas Pertanian Universitas Indonesia di Bogor pada 27 April 1952, melontarkan pernyataan bahwa “urusan pangan adalah hidup-matinya sebuah bangsa”.

Baca juga:  Serius Memberdayakan Sektor Pertanian

Di tingkat pemerintah pusat saat ini ancaman pangan disikapi dengan sangat serius. Terbukti dengan adanya permintaan Presiden Jokowi yang meminta jajaran TNI dan Polri untuk bersinergi mendukung agenda nasional dalam penanganan krisis pangan; utamanya pada saat memberikan amanat dalam berbagai kesempatan.

Mimpi Bali

Bali sendiri selama ini masih tergantung suplai pangan dari luar pulau. Bali belum bisa mandiri dalam memenuhi kebutuhan pangan masyarakatnya. Meski sebenarnya pertanian adalah jati diri krama Bali. Bahkan arsitektur tradisional Bali telah menempatkan bangunan untuk stok pangan, serta lahan pekarangan untuk kemandirian pangan keluarga. Arsitektur Tradisional Bali menempatkan Jineng sebagai bangunan lumbung pangan, dalam tata bangunannya. Sementara dalam pola tata ruangnya, terdapat Teba sebagai lahan yang disediakan untuk area tanam kebutuhan pangan keluarga. Arsitektur Tradisional Bali memang telah menyiapkan kemandirian pangan bagi penghuninya.

Baca juga:  Seluruh Gubernur Sigap Wujudkan Pangan Murah

Kebutuhan pangan untuk keluarga Bali sebenarnya dapat dipenuhi dengan optimalisasi fungsi Jineng dan Teba. Setiap keluarga dapat beternak ayam, untuk memenuhi kebutuhan daging dan telor. Kebutuhan dapur dapat dipenuhi dengan menanam aneka buah dan sayur, seperti cabe, bayam, singkong, pisang, pepaya, aneka rempah, dll, di Teba. Dahulu sebelum industri pangan menguasai pasar, para leluhur kita memenuhi kebutuhan pangan keluarga (sayur, buah, bumbu, daging, telor) dengan beternak dan berkebun secara sederhana di pekarangan rumah. Hanya kebutuhan pangan pabrikan yang memang harus dibeli di pasar, sebagaimana gula, garam, dan minyak.

Masyarakat saat ini bagai terjebak dalam situasi kemudahan berbelanja, utamanya melalui berbagai platform belanja online/daring. Akibatnya kita kehilangan sifat produktif dan cenderung menjadi mahluk yang konsumtif. Sehingga ada kecenderungan masyarakat didikte oleh para produsen industri pangan, dan kehilangan sifat kemandirian pangannya. Sudah saatnya Bali kembali memperkuat basis pertaniannya yang selama ini sedikit tertinggal dibanding industri pariwisata Bali. Utamanya untuk memenuhi kebutuhan pangan skala pasar/industri. Tentu saja pertanian Bali ke depan harus digarap dengan basis riset dan teknologi masa kini. Tidak lagi dikerjakan secara tradisional semata tanpa basis riset yang jelas.

Baca juga:  Restart Ekonomi Bali

Tata kelola pangan Bali harus digarap secara terintegrasi sejak riset benih dan pasar, produksi, distribusi, hingga kemasan dan penjualannya. Harus ada kolaborasi antara pemenuhan kebutuhan pangan untuk pasar/industri, dan kebutuhan pangan untuk skala keluarga yang sebenarnya dapat dibangun kemandiriannya dari pekarangan setiap keluarga.

Penulis Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *