Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si. (BP/kmb)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Secara alamiah dan naluriah hampir setiap orang, terutama kaum laki-laki (maskulin aktif/normal), sejak menginjak fase dewasa, bahkan adakalanya sejak pubertas awal (anak-remaja), sangat tertarik dengan hal-hal yang dapat memancing hasrat sensual/seksual. Penyalurannya tentu melalui berbagai cara, media dan sarana, di antaranya lewat tontonan.

Salah satu tontonan dimaksud yang meskipun terus mendapat sorotan bahkan tentangan, namun tetap bergeming dengan genre “SPBU” (Sensual/seksual, Porno, Birahi, demi Upah) adalah Joged Bumbung Jaruh (JBJ), yang tampil makin menjadi-jadi bahkan sudah mengarah pada kejahatan moral (BP, Jumat, 15/3).

Tak kurang Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, I Gede Arya Sugiartha menyayangkan, pihak-pihak tidak bertanggung jawab menampilkan kesenian joged bumbung yang dengan sengaja mempertontonkan adegan tidak terpuji, melanggar etika dan kesantunan tari Bali. Pihaknya mengatakan, secara normatif semua upaya sudah dilakukan agar kesenian joged bumbung tidak keluar dari pakemnya.

“Kenyataannya, JBJ semakin berkembang dan sudah mengarah ke kejahatan moral. Oleh sebab itu, tinggal satu hal yang belum dilakukan yaitu membawa masalah ini ke ranah hukum,” katanya.

Baca juga:  Pendulum Kesehatan dan Ekonomi

Pertanyaannya, kapan ditindak, mengingat persoalan JBJ ini terkesan terjadi pembiaran sehingga boleh jadi dianggap sebagai pembenaran.

Sejatinya joged bumbung itu sendiri merupakan karya cipta seni bernilai estetis yang dikonstruksi berdasarkan tatanan etis dan tuntunan filosofis. Tak heran badan dunia UNESCO pun menetapkannya sebagai warisan budaya tak benda sejak tahun 2015.

Sehingga wajib dilestarikan, dilindungi dan dimuliakan agar tidak merusak citra budaya Bali yang adiluhur dan adiluhung. Persoalannya, ketika joged bumbung sudah ditransformasi menjadi JBJ, kesalahannya bukan pada joged bumbungnya melainkan terhadap para pelaku dan pihak yang mengorganisir/mempublisir ke publik sebagai penjual jasa hiburan, baik dipertontonkan secara nyata (live show) maupun lewat dunia maya (medsos) seperti youtube hingga menjadi viral meski menjegal norma etika/susila, kesopanan/kesantunan, adat ketimuran, moral dan tentunya hukum.

Kepada mereka itulah sebenarnya bisa ditindak secara pidana oleh aparat penegak hukum. Sebab merujuk Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, pada bab I (ps 1) dijelaskan, bahwa yang termasuk pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat; (Ps 2) Jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya.

Baca juga:  Heuristik Elektoral

Lalu pada Ps 10 dinyatakan, setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.

Terhadap pelanggaran UU Pornografi ini, pada bab VII Ps 36 dapat dikenakan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000. Karena menurut Ps 39 dinyatakan tindak pidana tersebut diatas adalah sebuah kejahatan, dalam hal ini kejahatan moral. Sangat jelas dan tegas bahwa JBJ yang semakin menjadi-jadi  tersebut dapat dijerat UU Pornografi.

Baca juga:  Mencermati Program Studi Pengembangan "Local Genius" Bali

Tinggal sekarang beranikah pihak berwajib sebagai penegak hukum menjerat aksi vulgar bin liar JBJ  yang tergolong kejahatan (moral) itu? Apalagi tidak termasuk delik aduan, yang harus menunggu laporan masyarakat atau pihak yang dirugikan.

Lagi pula relatif mudah ditemui fakta hukumnya lantaran pertunjukan JBJ ini terkesan sudah menjadi candu (sebagian) masayarakat Bali, seperti halnya judi tajen yang juga tetap marak. Mirisnya lagi, tak jarang JBJ  ditanggap untuk pentas saat serangkaian ritual suci yadnya berlangsung, semisal nelubulanin, ngotonin, pawiwahan, atau ketika parayaan ulang tahun dan moment kemenangan/keberhasilan. Menjadikan JBJ makin menjadi-jadi, terus eksis di tengah pusaran hidup antara tuntunan etis (moral) dan tuntutan pipis (modal) — sebagai bekal kehidupan.

Penulis, Dosen Fakultas Pendidikan UNHI Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *