Ir. Dharma Gusti Putra Agung Kresna. (BP/Istimewa)

Oleh Agung Kresna

Gejolak harga pangan di Indonesia hampir selalu terjadi di waktu menjelang peringatan hari besar keagamaan. Atau juga saat terjadi gangguan cuaca atas proses produksi pangan Indonesia. Situasi ini utamanya terjadi atas kebutuhan pokok pangan seperti beras, telor, daging, cabe, serta aneka sayur yang proses produksinya sangat bergantung pada kondisi alam.

Wilayah Nusantara yang dalam lirik-lirik lagu Koes-Plus disebut sebagai tanah kaya bagai permata di katulistiwa. Bagai ratna mutu manikam, berlimpah kekayaan di Nusantara. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Nyatanya bidang pertanian di Nusantara belum bisa sepenuhnya mandiri dan memberi kesejahteraan bagi warganya.

Bagaimana mungkin wilayah Nusantara yang tidak memiliki ladang tanaman gandum justru menjadikan gandum/terigu sebagai bahan makan utama keseharian masyarakat. Utamanya dalam bentuk olahan mi instan, dan aneka roti berbahan dasar tepung terigu. Semestinya pangan kita berbahan dasar tepung tapioka atau beras, karena tanaman singkong dan beras yang ada. Selayaknya kita mengkonsumsi aneka pangan sesuai kondisi potensi alam sekitar kita. Nyatanya saat ini hampir semua wilayah di Indonesia menggunakan beras sebagai bahan pangan pokok, meski berasnya harus didatangkan dari wilayah lain. Sementara sebenarnya ada potensi tanaman lokal yang tumbuh subur seperti jagung, singkong, sagu, keladi, atau juga sorgum.

Baca juga:  Kolaborasi Olah Raga dan Pariwisata

Gastro-kolonialisme

Sebenarnya nenek moyang bangsa Indonesia telah mewariskan kebudayaan pangan berbasis kearifan lokal sesuai kondisi wilayah tempat tinggal mereka. Pada dasarnya setiap jengkal wilayah di Indonesia memiliki potensi pangan sesuai kondisi alam sekitarnya.

Namun hegemoni ekonomi global telah menciptakan gastro-kolonialisme di Indonesia. Diakui atau tidak, program bantuan pangan yang berlaku masif dan seragam di seluruh wilayah Indonesia, telah mengubah budaya pangan kita.

Melalui model bantuan sosial (bansos) beras dan mi instan maupun beras gratis untuk keluarga miskin (raskin), secara perlahan namun pasti telah menjadikan nasi dan mi instan sebagai menu utama keseharian budaya pangan kita.

Baca juga:  Mengurangi Risiko Kesehatan

Mayoritas anak Papua yang tinggal di kampung tidak lagi makan sagu. Di Kabupaten Boven Digoel, sebagian masyarakat suku Korowai mulai meninggalkan sagu dan beralih ke beras. Sementara di Kabupaten Jayawijaya masyarakat juga mulai meninggalkan ubi jalar sebagai makanan pokok mereka, dan beralih ke beras.

Situasi inilah yang mungkin bisa menjelaskan mengapa masih ada warga Papua yang mengalami bencana kelaparan dan kurang gizi. Padahal hutan sagu terbentang luas di kawasan pantai. Sedang ubi jalar dengan beraneka varietasnya tumbuh subur di wilayah pegunungan. Dua sumber pangan dengan kandungan protein nabati yang tinggi.

Sudah saatnya warga bangsa Indonesia kembali memberdayakan kebudayaan pangan lokal sesuai potensi yang ada di masing-masing wilayah. Makanan pokok masyarakat Mentawai adalah sagu, pisang, dan umbi-umbian utamanya keladi/talas. Jenis tanaman pangan ini tahan terhadap banjir dan kekeringan serta sesuai kondisi tanah gambut.

Sementara warga Manggarai NTT memiliki keberagaman sumber pangan sebagaimana tercermin dalam doa sebelum memulai tanam, “Loda wini woja, pau wini latun, wecak wini lempang, weri wini pesi, rending wini sela, dorik wini hocu (menanam padi ladang, menaburkan jagung, menabur sorgum, yang diikuti jawawut)”.

Baca juga:  Tantangan Reformasi Birokrasi

Padi ladang memang sudah dibudidayakan warga Manggarai sejak dulu, namun dalam jumlah terbatas dan biasanya hanya dikonsumsi di saat ritual atau acara-acara khusus. Kebudayaan pangan Nusantara pada dasarnya dilandasi oleh local wisdom budaya tradisi nenek moyang.

Sekarang kebudayaan pangan kita menjadi bergantung pada peran serta pihak luar. Bagi Bali sudah seharusnya juga memperkuat kebudayaan pangannya. Warisan kebudayaan pangan Bali secara jelas telah mewujud dalam bentuk budaya subak. Siklus kegiatan kehidupan keseharian krama Bali juga mengikuti siklus budaya bercocok tanam, meski keseharian mereka hidup dalam ritme industri pariwisata.

Penulis Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *