I Ketut Murdana. (BP/Istimewa)

Oleh I Ketut Murdana

Seni merupakan salah satu kekuatan dari tiga kekuatan utama (Tri Sakti=Satyam, Shivam dan Sundharam). Seni itu lahir dari Sundaram (keindahan) wujud dan jiwa alam semesta. Benih-benih estetik (Samskara) ini meresapi indriya, rasa dan keinginan (sabda) orang-orang tertentu, lalu semakin membesar menggerakan energi (bayu) dalam diri seseorang.

Kekuatan benih-benih estetik ini menjadi kesyahduan mendorong prilaku estetik menjadi kreativitas yang mengindrawi. Artinya dari tataran angan-angan estetik (idealisme) mencapai realisme estetik memiliki wujud yang dapat dinikmati.

Orang-orang yang dapat memerankan diri dalam angan-angan estetik menjadi wujud estetik yang mengindrawi ini, disebut seniman atau juga para Kawi. Mereka ini memiliki kepekaan rasa estetik hingga bisa merasakan getaran energi estetik yang ada di luar dirinya dan juga reaksi energi estetik itu dalam dirinya. Konfigurasi kedua gelombang energi itu bisa menjadi “wujud” indrawi yang mengantarkan publik dari realitas metafisika menjadi realitas duniawi yang komunikatif. Lalu wujud indrawi ini diapresiasi menjadi wujud-wujud, pengenalan, pemahaman estetik kemudian menjadi taman estetik yang menyenangkan dan membahagiakan bahkan juga “mengenang”. Karena memiliki sifat mengenang lalu bisa menimbulkan suka dan tidak suka. Ketika sentuhan apresiasi itu terjadi berarti seni telah merefleksikan “rtham” hukum kebenaran dualitas yang tidak bisa dihindari oleh siapapun.

Baca juga:  Harmonisasi Pertanian, Budaya, dan Pariwisata

Merasakan dan memahami alur proses kreatif itu, menjadikan “kesadaran” bahwa swadharma seniman adalah melayani alam semesta untuk membuka kerahasiaan-Nya melalui bayang-bayang atau angan-angan yang dituangkan melalui karya-karya seninya. Melalui swadharma itulah seniman selalu berhubungan dengan alam metafisika (abstrak=niskala) dan alam duniawi (realitas=sekala). Melalui hubungan itulah “proses yoga” terjadi dengan sendirinya.

Hubungan itu adalah proses menemukan makna, artinya ketika konsentrasi dalam kontemplasi terjadi kontak antara subyek pribadi dengan obyek alam semesta melalui sifat dan kuasa-Nya yang dapat diserap melalui “bayang-bayang estetik”. Kemudian tertuang dalam proses perwujudan, saat inilah paduan bayang-bayang dengan kualitas emosional tertuang melalui ketrampilan fisik, apakah goresan, gerak, permainan nada, kata-kata kalimat puitis dan seterusnya.

Baca juga:  Masihkah Jawa Centris?

Ketika menuangkan angan-angan melalui goresan, disitulah proses ketaraturan napas (prana), agar mampu menghasilkan goresan yang berkualitas mengagumkan (“ngelangenin”=bahas Bali), misalnya berirama luwes, panjang, pendek lengkung, lurus dan seterusnya, dalam bahasa Estetika Bali disebut (“lemuh” dan “pangus”). Demikian pula gerakan yoga asanas yang luwes berenergi.

Ketika kualitas teknik ini telah mencapai standar kekaguman “tertentu”, lalu memformulasi figur-figur objek beraneka karakter, sebagai refleksi dan ekspresi nilai hakiki menjadi wujud indrawi, lalu menjadi daya tarik menyenangkan dan membahagiakan. Ketika sudah demikian prinsip-prinsip karmayoga melalui seni telah “mencapai”.

Baca juga:  Penyebaran Berita Bohong sebagai Kompleks Inferioritas

Mencapai inilah memerlukan tingkat pemahaman perjuangan agar “mencapai penyatuan” (Yoga) dalam rasa damai atau juga disebut “kebebasan” menuju keabadian. Oleh karenanya memerlukan pengetahuan yang lebih “dalam” lagi, merupakan swadharma bagi penggemar-penggemar pengetahuan (jnana) dalam meningkatkan kualitasnya.

Penulis, Pensiunan Dosen ISI Denpasar, Pemerhati Budaya

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *