Oleh Marjono
Berencana seolah saur manuk. Membaca banjir, melihat tanah longsor, angin kencang dan memahami bencana yang bertubi-tubi yang menelan kerugian harta benda dan nyawa bukanlah kesalahan alam, tapi murni kesalahan manusia mengelola alam. Banjir kiriman, lokal, rob bahkan bandang sudah meradang.
Bukan waktunya saling reaktif, emosional, mencari kambing hitam, memaki tanpa memberi solusi. Sedia payung sebelum hujan maupun penanganan banjir setiap daerah akan berbeda, bergantung akar penyebab terjadinya banjir. Kelakuan masyarakat yang buruk menjadi penyebab utama banjir. Membuang sampah sembarang, menggunduli hutan seenaknya, mendirikan bangunan di bantaran sungai, sawah bertumbuh paku beton, minimnya penyerapan air ke tanah, pengalihan fungsi lahan, miskinnya ruang terbuka hijau, mangkraknya mata air, sungai, polder, danau dan waduk maupun embung, dll.
Itulah kemudian, edukasi dan pemberdayaan masyarakat untuk melakukan aktivitas keluar dari faktor penyokong utama banjir di atas mutlak dilakukan, diberikan contoh dan gambaran dampak kontraproduktif ketika dilanggar. Itu artinya, tak hanya tanggungjawab pemerintah belaka, tetapi pada seluruh segitiga pentahelix, yakni pemerintah, akademisi dan dunia bisnis serta ditambahkan komunitas (masyarakat). Maka, kolaborasi bukan lagi utopi, karena pada dasarnya tak ada yang sendirian di dunia ini, semua mesti bergerak, turun, terlibat berikhtiar mencegah, menanggulangi dan mengatasi aneka bencana.
Berhimpun jari, gotong royong pada saat bencana datang itu baik, tapi jauh lebih efektif manakala kerja keroyokan itu dilakukan secara regular saat tak ada bencana. Artinya, pencegahan jauh lebih efektif, karena efek jangka panjangnya bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Praktik baik yang dilakukan pemerintah di beberapa daerah, seperti membangun model rumah konstruksi panggung baik model individual maupun sistem komunal menjadi bagian cara menyelamatkan masyarakat dari ritihan banjir yang bisa menyekap setiap saat. Cara ampuh lainnya yang tak kalah jitu, yakni pembuatan embung yang juga telah tak sedikit dibangun pemerintah bahkan hingga aras pedesaan menghalau bahaya banjir.
Pengawasan pemerintah daerah dalam mengawal RTRW nampaknya mesti ditegakkan, salah satunya konservasi kawasan. Aliran investasi penting, namun nutrisi lingkungan juga tak kalah penting. Gerakan-gerakan komunitas, seperti sekolah sungai, penanaman pojon, aksi-aksi membersihkan pantai, danau dari sampah, plastik dan limbah lain layak didorong dan gerakkan secara intensif, karena secara langsung mereka telah ikut membantu pemerintah mengatisipasi bencana secara dini. Artinya, normalisasi dan naturalisasi sungai juga sama pentingnya. Di samping itu, pembuatan sumur-sumur resapan maupun biopori di lahan pekarangan tempat tinggal, di sekolah/kampus, di kantor, di pasar maupun di ruang publik lain menjadi tawaran yang tidak buruk, karena lewat cara ini sekurangnya kita akan bisa memanen air manakala krisis air menimpa tapi juga mengaliskan banjir menyisir lingkungan.
Local Wisdom
Ketercukupan air tanah sebagai barang publik yang penyebarannya yang tidak merata di semua wilayah, semakin hari semakin menurun kualitas dan kuantitasnya. Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan peningkatan intensitas dan volume pemanfaatan air tanah yang melebihi kapasitas sehingga melampaui zona rawan dan kritis.
Merawat local wisdom (kearifan lokal), seperti pendayagunaan kentongan sebagai Early Warning System (EWS), meski dianggap purba tapi di jaman kini pun masih relevan dipraktikkan. Dulu, kentongan ini adalah sarana komunikasi yang sangat efektif. Kenthong satu (kematian), kenthong dua (pencurian), kenthong tiga (kebakaran), kenthong empat (banjir), dan seterusnya.
Pada relasi kebencanaan, kampus pun bisa mengambil peran melalui penerjunan tim SAR perguruan tinggi didampingi Basarnas, BNPB, BPBD yang terjun langsung membantu menyelamatkan dan atau mengevakuasi korban maupun lewat program kuliah kerja nyata (KKN) akan lebih bernyawa ketika juga melaksanakan program-program yang berkaitan dengan kebencanaan, misalnya membekali masyarakat dengan kemampuan penanggulangan bencana sesuai tipikal bencana di masing-masing wilayah, membantu pembuatan infrastruktur atau sistem penanggulangan bencana, maupun turut mendorong terbentuknya desa/kelurahan tangguh bencana.Terakhir, sinergi memutus mata rantai banjir dan bencana lainnya menjadi aksi bukan lagi apriori. Inilah penyadaran, ya pemikiran buat seluruh pemangku kepentingan.
Penulis, Kepala UPPD/Samsat Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah