BANGLI, BALIPOST.com – Tingginya populasi ikan red devil telah mengancam populasi ikan endemis yang ada di Danau Batur, Kintamani. Mengatasi hal itu, Pemkab Bangli bersama puluhan nelayan di Danau Batur melakukan gerakan penangkapan ikan pemangsa tersebut Jumat (5/4). Hasilnya sekitar 3 kwintal red devil berhasil dikeluarkan dari Danau Batur.
Ketua DPC Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Kabupaten Bangli I Made Antara mengatakan populasi ikan red devil di Danau Batur sangat pesat dalam sepuluh tahun terakhir. Kondisi itu sangat dikeluhkan nelayan. Pasalnya keberadaan ikan invasif tersebut mengakibatkan terjadinya penurunan populasi ikan endemik jenis nila yang ada di danau tersebut. “Nelayan jadi susah dapat ikan nila karena populasi red devil sangat tinggi,” ungkap Antara.
Red devil, jelas Antara punya sifat kanibal. Ikan red devil memakan anakan ikan. Keberadaan ikan tersebut juga dianggap mengganggu karena merusak jaring nelayan.
Nelayan selama ini enggan menangkap ikan red devil karena nilai ekonomisnya rendah. “Tekstur dagingnya tidak bagus,” ujarnya.
Lanjut dikatakannya gerakan penangkapan ikan red devil yang dilakukan para nelayan bersama Pemkab Bangli kemarin baru tahap awal. Gerakan tersebut dipastikan akan terus berlanjut hingga populasi red devil bisa ditekan. “Tadi dapat 3 kwintal dalam dua jam. Baru tahap awal. Karena tadi baru tahap awal, kedepan kita harapkan bisa lebih dari itu, mungkin satu hari bisa dapat 1 ton,” jelasnya.
Sementara itu Kepala Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan dan Perikanan Kabupaten Bangli I Wayan Sarma membenarkan bahwa dalam satu dasa warsa terakhir muncul fenomena baru dengan merebaknya jenis ikan invasif yang bernama Red Devil. perkembangan ikan Red Devil ini sangat pesat, sehingga berdampak pada 2 hal. Pertama terancam punahnya ikan-ikan edemis Danau Batur, yang berarti mengancam keberadaan keanekaragaman hayati atau biodiversity yang sesungguhnya merupakan bagian penting dari Geopark. Kedua secara ekonomis berdampak pada menurunnya pendapatan para nelayan.
Menyikapi hal tersebut pihaknya telah melakukan beberapa upaya antara lain dengan menawarkan hasil tangkapan ikan Red Devil ini kepada pengelola taman safari, untuk dijadikan pakan hewan di sana. “Namun ternyata tidak memenuhi syarat,” ujarnya.
Upaya lainnya melalui pemanfaatan ikan Red Devil untuk menjadi kuliner yaitu berupa olahan krispi. “Saat ini sudah ada 2 kelompok binaan kita, akan tetapi serapan bahan baku mereka belum maksimal,” jelasnya.
Kedepan ada 4 kegiatan yang telah dirancang pihaknya untuk mengatasi ikan invasif tersebut. Pertama dengan melaksanakan sosialisasi dan edukasi bahwa Red Evil adalah ikan infasif yang menjadi musuh bersama. Kedua melaksanakan gebyar penangkapan ikan yang hasil tangkapannya kemudian ditawarkan kepada pengusaha pabrik pakan ternak yang ada di Pengambengan Jembrana, untuk diolah menjadi tepung ikan. “Jangka panjang, kami akan laksanakan peningkatan SDM para Bendega dan para pengolah, untuk bisa meningkatkan volume usahanya. Selanjutnya restoking atau pelepasan benih ikan endemis Danau Batur,” paparnya.
Terkait gebyar penangkapan ikan kemarin disampaikan bahwa kegiatan tersebut merupakan kegiatan kolaboratif yang tidak sepenuhnya menggunakan anggaran pemerintah. Ikan red devil hasil tangkapan nelayan kemudian diberikan kepada dua kelompok pengolahan, dan diberikan kepada petani pemeliharaan magot. (Dayu Swasrina/Balipost)