Ngurah Weda Sahadewa. (BP/Istimewa)

Oleh Sahadewa

Kemerdekaan adalah hak segala bangsa demikian dalam Pembukaan UUD 1945 namun ada faktor terpenting sebetulnya mendasarinya yaitu kemerdekaan dari setiap bangsa Indonesia yang kemudian membenarkan jika setiap bangsa memiliki hak kemerdekaannya. Kemerdekaan dipandang penting jika proporsional. Inilah inti dari tulisan ini. Inti pokok dari persoalan di MK adalah sengketa. Mempersengkatakan adalah inti dan pokok persoalannya adalah menang dan kalah? Sekilas tampak demikian. Namun, sebenarnya tidaklah selalu dapat diarahkan ke arah itu (menang dan kalah).

Kekalahan dan kemenangan adalah biasa ataupun lumrah sejak masa peperangan di masa silam sampai kini namun, tidaklah lumrah jika kemudian kemenangan ada di pihak yang tidak benar adanya. Oleh karenanya, kemenangan tidaklah penting, mari kemudian mengarahkan diri sendiri untuk mengukur ke mana sebenarnya ukuran kebenaran yang dipakai. Pada kesempatan ini pula dapat dikemukakan bahwa pertama, tidak mungkin kebenaran diperoleh dengan dasar kesalahan dan kedua, tidaklah ada kebenaran diperoleh tanpa kemerdekaan.

Namun, kemerdekaan tidaklah mungkin ada tanpa kebenaran. Inilah kunci untuk membuka selubung bukan sembunyinya tempat kebenaran itu sendiri. Tempat kebenaran itu sendiri salah satunya ada di Mahkamah Konstitusi atau MK sekarang ini. Namun, tidaklah semudah itu mengkategorisasi tempat kebenaran berada. Oleh karena itu pulalah tulisan ini tidak berpretensi untuk menemukan tempat kebenaran itu melainkan berjuang untuk membuka selubung dari kebenaran itu sehingga seolah-olah kebenaran itu tersembunyi adanya. Kebenaran tidak tersembunyi namun belum ditemukan adanya. Oleh karena itu, patut diduga bahwa tidak ada kebenaran jika mata tertutup yang mata tertutup karena hatinya terbuka untuk ditutup.

Baca juga:  Siapkan Mentalitas Indonesia Tuan Rumah Olimpiade

Kebenaran dalam kemerdekaan adalah tidak jauh kalah pentingnya dibandingkan dengan kemerdekaan itu sendiri sehingga kemerdekaan akan teruji karena yang dibela adalah kebenaran. Jika kemerdekaan dalam berpendapat di MK disetujui adanya maka yang terjadi adalah pertama, tidak menyembunyikan kebenaran, kedua, tidak memanipulasi kebenaran, dan ketiga yang terpenting yaitu tidak menutup peluang terhadap yang benar agar dapat memberi bukti dan kesaksian.

Ketiga unsur pokok di atas tidaklah berat sebelah melainkan seimbang adanya guna mencapai suatu bentuk keputusan yang paling benar. Oleh seorang Hakim MK mungkin berbeda pendapat dengan seorang Hakim MK yang lain namun yang jauh lebih utama adalah pertama, tidak membedakan kebenaran atas dasar kepentingan kelompok ataupun golongan apalagi kepentingan keluarga.

Baca juga:  Masihkah Jawa Centris?

Itulah yang menjadi dasar kemerdekaan dalam berpendapat. Kedua, tidak menutup diri atas adanya kebohongan dan manipulatif dalam sengketa pemilu misalnya. Seterusnya pasti didapat kesimpulan akar persoalan yang sebenarnya jika memang terus ditelusuri sampai dari mana adanya usulan perubahan keputusan MK tentang usulan umur calon presiden dan wakil presiden dan pula siapa orang yang mengajukan keberatan.

Akar persoalan yang sebenarnya itulah sebagai ajang perdebatan yang terbuka menuju kemerdekaan dalam berpendapat di MK. Disinilah problem yang sebenarnya. Seterusnya jika ditelusuri lebih dalam adakah keterlibatan pihak luar seperti bahkan kemungkinan partai politik di dalamnya sehingga ini semua pasti akan lebih melegakan keputusan bagi para Hakim MK dalam memberikan keputusan.

Jika dan maka ataupun hanya jika maka tidak lain selain daripada itu. Itulah kalimat hukum secara kefilsafatan yang mampu untuk mendeskripsikan sebuah keputusan. Inti final dari sebuah keputusan bukan sekadar kesenangan semata melainkan kebahagiaan yang berlinang air mata atas dasar ditemukannya sebuah kebenaran inti.

Baca juga:  Menunggu Kebijakan Menparekraf untuk Pariwisata

Ini memang sulit namun tidak selalu tidak mudah. Karena atas dasar itulah keputusan seorang hakim dan di MK sekalipun mampu untuk berpartisipasi atas kebahagiaan yang hakiki untuk bangsa dan negara ini ke depan. Oleh karena itu tidaklah pantas apalagi patut serta layak untuk sekali lagi tidak menuntun MK itu sendiri ke jalan kebenaran yang inti yaitu keadilan yang tidak sarat dengan kepentingan politis.

Kemudian daripada itu jika membentuk sebuah opini atas dasar fakta maka fakta itulah yang diuji bukan opininya. Oleh karenanya tidaklah patut dan layak jika seorang hakim MK tidak mampu ataupun tidak berkemampuan menguji tidak hanya secara materiil atas barang bukti melainkan mampu membuktikan adanya kebenaran. Kebenaran bukan dari balik barang bukti itu melainkan dari alat bukti kebenaran. Seterusnya dapat disimak lebih dalam bagaimana suara keras dan lantang apalagi tegas namun sebenarnya dalam rangka untuk menjatuhkan kebenaran.

Inilah inti dari kesimpulan tulisan ini yaitu pertama, tidak terperangkap oleh perangkap dan kedua, tidak terjebak oleh jebakan.

Penulis, Dosen Fakultas Filsafat UGM

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *