Prof. Wayan Suartana. (BP/Istimewa)

Oleh I Wayan Suartana

Ontologi taksu dalam kehidupan kebudayaan Bali terus berkembang seirama dengan perubahan tata nilai di masyarakat. Narasi tak sebatas apakah nilai itu terdegradasi atau promosi. Taksu mengemas kehidupan masyarakat yang sama dengan isinya.

Taksu berkelindan dengan Tetamian dan secara aksiologi telah menghiasi kegunaan antropologi masyarakat. Salah satunya masyarakat Bali mengenal konstruk taksu dalam kehidupan berkesenian. Tak jarang ada pementasan kurang menarik karena taksu pemainnya tidak muncul.

Taksu menjadi pembeda bahwa sebuah entitas dan lakon memiliki kelebihan. Dia menjadi energi dalam membentuk mozaik-mozaik relasi sosial. Dia merupakan branding Bali yang selama ini menjadi aset yang selalu dikapitalisasi untuk memeroleh angka-angka moneter.

Baca juga:  Pura Dang Khayangan Indrakusuma

Sekuensial kapitalisasi itu harus disertai dengan konservasi, sebuah istilah lain dari perlindungan detail. Jangan sampai taksu dieksploitasi secara brutal tanpa ada sentuhan atau kerja tangan-kaki untuk menahan hembusan angin atas nama pembawa kemajuan.

Kemajuan sebagai bagian perubahan tentu tak bisa dihindari dan tujuan sebuah kehidupan adalah perubahan untuk kesejahteraan lebih baik. Aksiologi taksu telah merubah Bali menjadi pulau kecil indah dan menarik banyak orang. Dalam konteks ini apa akuntabilitas pendukungnya.

Baca juga:  Deklarasi Budaya Kerja TAKSU, Aktualisasi Peningkatan Pelayanan Publik

Akuntabilitas menjaga taksu Bali harus dimaknai sebagai aset tak berwujud yang tidak hanya dikapitalisasi tetapi juga dirawat sehingga prediksi nilai yang melekat tak meleset jauh. Dalam bahasa Akuntansi ada istilah “Neraca” maka Bali punya neraca sebuah konsep keseimbangan antara hak dan kewajiban. Taksu adalah milik Bali muncul dari energi dalam penghuninya dan mempunyai manfaat masa depan. Aset ini terartikulasi dari waktu ke waktu dan berkelanjutan tanpa batas waktu.

Pertanyaan preskriptif, bagaimana cara menjaga aset ini? Pertama, tentu ada Internalisasi pendukungnya. Kesadaran menjadi niat dan niat menjelma jadi laku. Kedua, secara ofisial, adanya kebijakan yang fokus dan tidak tumpang tindih. Ini adalah agenda besar untuk proses apapun, baik ranah politik maupun rekayasa sosial. Regulasi menjaga taksu jangan menjadi “macan kertas” atau hadir sebagai komoditas impresi semata.

Baca juga:  I Dewa Putu Badra, Pawang Keroncong dari Kayu Mas Kelod

Neraca Bali sebagai konsep keseimbangan terdiri dari aset berwujud dan taksu di sisi properti (hak milik) bersanding dengan kewajiban jangka pendek dan panjang untuk anak cucu kita.

Penulis, Koprodi S3 Ilmu Akuntansi FEB Unud

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *