Oleh Nyoman Sukamara
Indeks persepsi korupsi Indonesia menurun, dari skor 38 pada tahun 2021 menjadi 34 di tahun 2022 dan menempatkan Indonesia di posisi 110 dari 180 negara yang di survei. Penurunan paling drastis sejak tahun 1995.
Sejalan, hari-hari ini, korupsi sepertinya semakin masif dengan skala kasus bertambah besar. Banyak koruptor yang sudah dipenjarakan tidak membuat (calon) koruptor jera. Tindak pidana korupsi yang berisiko hukum dan sosial bagi pelaku dan keluarganya tidak menyurutkan sebagian orang untuk korupsi.
Apa yang membuat orang tetap korupsi, berjudi dengan risiko yang tidak ringan? Secara sederhana, seseorang melakukan korupsi karena ada niat dan kesempatan. Niat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dianut seseorang sedangkan kesempatan behubungan dengan sistem (Program Revitalisasi Integritas Mental-KPK, 2010).
Senada, Bibit S. Riyanto (2009) mengungkapkan lima jenis potensi penyebab korupsi: sistem, integritas moral, tingkat kesejahteraan, tingkat pengawasan (termasuk self control, social control) serta budaya taat hukum, yang bisa dikelompokkan menjadi faktor manusia dan faktor sistem/lingkungan. Namun, sederetan kasus menunjukkan tindakan korupsi dilakukan tidak kerena kurang sejahtera (uang). Koruptor bukanlah orang-orang miskin, tetapi mereka yang hidup berkecukupan, bahkan di antaranya bergelimang kekayaan.
Pelaku korupsi juga bukan orang yang tidak paham tentang tindakan dan risiko dari tindakan korupsinya. Nilai-nilai hidup pelaku lah yang dominan melatarbelakangi niat korupsi.
Mengamalkan Nilai Keagamaan
Perangkat pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia sesungguhnya sudah cukup, di antaranya ada UU Nomor 31 Tahun 1999 Juncto UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi. Didukung oleh lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk dengan UU Nomor 30 Tahun 2022, disamping lembaga-lembaga permanen Kepolisian dan Kejaksaan. Mungkin tidak sempurna dan tidak akan pernah ada perangkat yang sempurna di tengah konteks yang berubah sangat cepat.
Niatlah yang mengelola semua faktor lain yang akan menghasilkan perilaku menghindari atau sebaliknya melakukan korupsi. Karenanya, untuk mencapai tujuan, implememtasi sebuah sistem membutuhkan nurani manusia pelakunya. Niat yang tumbuh dari nilai-nilai yang dianut seseorang akan melihat dan menjadikan sebuah sitem pencegahan dan pemberantasan korupsi sebagai solusi atau sebaliknya menjadikannya shadow system untuk menciptakan peluang seseorang atau bahkan memaksa seseorang lain untuk korupsi.
Saat ini, kinerja pencegahan dan pemberantasan korupsi berada di level terendah: oknum-oknum pejabatnya korupsi, penanganan kasus-kasus korupsi ditengarai dilakukan secara tebang pilih entah untuk kepentingan siapa, saling sandra antarpelaku yang menyulitkan penuntasan kasus korupsi.
Untuk melanjutkan upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi, PR pemerintah dalam konteks sistem adalah 1) menata kembali sistem (perangkat hukum dan kelembagaan) sesuai dengan konteks mutakhir, termasuk mengisi setiap posisi dengan orang-orang yang mempunyai komitmen kuat terhadap pencegahan dan pemberantasan korupsi, sekaligus 2) menumbuhkan kepercayaan, kemampuan dan kemauan serta keberanian masyarakat dan lembaga-lembaga non-pemerintah untuk berpartisipasi dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi, alih-alih membiarkan masyarakat apatis dan permisif terhadap korupsi.
Secara bersamaan, upaya Pemerintah dalam konteks manusia/masyarakat: 1) pembangunan manusia secara menyeluruh yang dimulai dengan pemahaman, penanaman nilai dan pengamalan nilai keagamaan berkaitan dengan antikorupsi dengan melibatkan lebih banyak peran sistem dan lembaga keagamaan pemerintah dan non-pemerintah, 2) dalam masyarakat indonesia yang hirakhis, mutlak upaya mengembangkan kepemimpinan yang sekaligus role model. Secara hirarkhis, setiap pimpinan, mulai dari Presiden secara berjenjang ke bawah adalah role model bagi bawahan/staf. Bahkan setiap pemimpin dan kelompok elite adalah role model bagi masyarakat. Sebuah kenaifan, berharap korupsi berkurang ketika pejabat dan elite adalah pelaku korupsi, 3) melihat ke belakang, Pemerintah perlu mengefektifkan Revolusi Mental, program yang pernah memberi harapan tinggi rakyat Indonesia dalam mengakhiri praktik-praktik korupsi. Tidak banyak waktu tersisa bagi Pemerintahan sekarang.
Sesuai janji kampanyenya untuk melanjutkan program-program pemerintahan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Mach’ruf Amin, Presiden dan Wakil Presiden terpilih seharusnya juga melanjutkan program Revolusi Mental yang saat ini nyaris tak bergaung. Sungguh suatu ironi yang harus diakhiri, di tengah masyarakat dan bangsa Indonesia yang terkenal religius, dimana jumlah pembicaraan masyarakat tentang agama menjadi salah satu yang tertinggi di dunia, yang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dilandasi Dasar Negara Pancasila, perilaku koruptif tumbuh subur.
Penulis, Widyaiswara BKPSDM Provinsi Bali