Ngurah Weda Sahadewa. (BP/Istimewa)

Oleh Sahadewa

Kehidupan perekonomian bangsa dan negara tertantang setelah pelaksanaan pemilu. Kenyataan perekonomian nasional tidak mesti langsung tancap gas pasca pemilu, mesti disikapi dengan hati-hati mengingat kenyataan lain terkait dengan ekonomi dapat berbicara lain. Berbicara lain berarti pertama, manusia ekonomi tidak serta merta berkesejahteraan secara langsung dan seketika dan kedua pemerintahan suatu negara pasca pemilu belum tentu bersiap diri dengan cermat dan sistematis mengingat berbagai faktor keekonomian yang dipengaruhi oleh situasi dan kondisi politik yang ada.

Kondisi dan situasi politik yang ada memang tidak dirasakan secara langsung ataupun sadar, melainkan secara tidak langsung diam-diam dapat membentuk suatu bentuk pola perekonomian tersendiri adanya. Oleh karena itu kewaspadaan atas pola-pola ekonomi yang berubah mesti dirasakan agar dapat memberikan antisipasi untuk tidak tercapai ketidaksejahteraan yang semakin membuka lebar sekalipun dibalut dengan berbagai program pembangunan fisik misalnya.

Pemilu dalam kali ini yang dibahas adalah pemilu dalam skala nasional (termasuk Pilpres). Pada kesempatan ini dapat dituliskan sebagai berikut pertama, keadaan pemilu yang sempat menimbulkan gejolak polemik tersendiri dan kedua adalah bagaimana sebenarnya keadaan tersebut dapat memberikan dampak secara langsung dan tidak langsung kepada ekonomi masyarakat?

Baca juga:  Guru Unggul, Indonesia Maju

Jawaban atas keduanya di atas tidaklah selalu mudah, namun dapat diberikan asumsi sementara yang nantinya dapat dihapuskan asumsi itu untuk menuju kepada keadaan yang lebih riil (nyata). Pada keadaan tertentu artinya pada sebuah keadaan yang dapat diprediksi maka segala kekhawatiran mungkin tereliminasi jika prediksi tersebut memberikan gambaran yang positif. Akan tetapi sebaliknya dapat menimbulkan kekhawatiran tersendiri pula adanya.

Ketika pilpres sudah dilaksanakan maka memori sebelum terlaksananya itu pasti muncul kembali jika ekonomi tidak jalan dengan baik. Bila ekonomi berjalan dengan baik akan terjadi sebaliknya, tergantung dari persepsi masyarakat tentang kepemimpinan yang baik. Bila segala sesuatu yang terjadi mengarah kepada kebaikan maka yang terjadi adalah kepuasan. Sebaliknya demikian pula adanya itu. Jika sebaliknya yang terjadi maka perlu dievaluasi arah perekonomian yang turut menyertakan kepemimpinan yang baik.

Kehidupan ekonomi rakyat tampaknya belum pulih jika memang belum ada pemulihan yang berkelanjutan sebagai dampak dari COVID-19 terdahulu plus keadaan psikis sebagian dari persaingan pemilu yang mungkin masih bisa menyisakan keadaan yang tidak bersemangat sehingga kehilangan momentum pasar untuk bangkit. Untuk membangkitkan itu maka diperlukan momentum baru yang sekiranya dapat menghilangkan semacam trauma dari berbagai kenyataan manipulatif yang mungkin sempat terjadi dalam masa pemilu baik dari permulaan kasus di MK sampai berbagai peristiwa lainnya itu.

Baca juga:  Bacaan Bermutu untuk Literasi

Dalam konteks psikologis mungkin tidak dapat diungkap semua namun dari sisi kefilsafatan dapat diungkap bahwa pertama, kedudukan ekonomi. Kedua, keadaan perekonomian. Ketiga, kenyataan yang tidak berpindah. Keadaan perekonomian yang pulih bagi penulis adalah tidak terpengaruhnya suatu bentuk perekonomian agar tetap mengalami kemajuan. Namun, ini semua tidak dapat diantisipasi secara cermat jika keadaan mental kita belum dapat beranjak dari berbagai keadaan yang di luar moral umum.

Inilah yang kemudian melanjutkan analisis kefilsafatan penulis bahwa pertama, tidak mungkin ekonomi dapat bersemangat jika tidak muncul dari dalam. Ini berarti bahwa hati ataupun perasaan memang bisa terpengaruh akan tetapi, jika hati dan perasaan ini dipulihkan terlebih dahulu maka besar kemungkinan membentuk semangat baru dalam berekonomi. Kedua, tidak mungkin ada sesuatu yang mungkin berada dalam keberlanjutan kemajuan jika memang belum mampu secara material dan juga spiritual untuk bersama bangkit.

Baca juga:  Bawaslu Tak Tindaklanjuti Laporan

Ini semua hanya mungkin terjadi apabila segenap kepemimpinan tidak korup termasuk korup atas jabatan yang belum semestinya, namun terkesan dipaksakan untuk terjadi. Peringatan ini sudah sejak lama digaungkan namun tetap sejak semacam nepotisme tetap terjadi juga koncoisme.

Inilah sebagai biang keladi dari keambrukan yang bisa semakin mendatangi dunia perekonomian nasional. Untuk daerah sebentar lagi juga akan ada perhelatan pilkada dan semacamnya itu sehingga semakin lengkaplah sudah jika tradisi KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) terbudayakan apabila tidak ada tindakan pencegahan. Semoga Indonesia secara nasional dan juga daerah antisipatif terhadap ini semua sehingga mampu membangkitkan semangat baru dalam berekonomi.

Semangat baru dalam berekonomi memperoleh tantangan tersendiri di tengah situasi dan kondisi yang nepotis sehingga diperlukan suatu bentuk kebijakan dari pemerintah dan siapapun yang terkait dengan ini. Kebijakan yang ditujukan itu adalah apakah pemerintah ataupun siapapun bahkan apapun lembaganya mampu untuk meredam gejolak nepotis yang sekiranya dapat menuju pada objektivitas dalam berekonomi.

Dosen Fakultas Filsafat UGM

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *