Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si. (BP/kmb)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Malukat atau penyucian diri di pancuran maupun sumber mata air yang dilakukan umat Hindu ditawarkan ke sekitar 35 ribu peserta World Water Forum (Forum Air Dunia/WWF) ke-10 pada 18-25 Mei 2024 di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali. Bahkan, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno mengatakan sudah banyak permintaan terkait ritual itu.

Ia menjelaskan permintaan melukat mengawali WWF ke-10 makin meningkat setelah viralnya penyanyi Amerika Serikat, Usher, malukat saat berwisata di
Bali pada awal Maret 2024. “Apalagi kemudian dipopulerkan Usher dan beberapa pesohor internasional lainnya,” ucapnya dikutip dari Kantor Berita Antara (20/4).

Ada apa dengan “melukat” (tulisan yang benar malukat), dan mengapa belakangan ini kian ngetrend, bahkan sering viral lewat postingan di medsos? Menjadi semacam rangsangan banyak kalangan, tidak hanya
orang Bali (Hindu) tetapi juga non-Hindu untuk ikut larut dalam prosesi malukat. Tak terkecuali beberapa pesohor (artis-selebritis) nasional dan internasional turut juga merasakan bagaimana nikmatnya “kritisan”
cucuran air saat malukat.

Baca juga:  Kereta Api Tak Cocok untuk Bali

Seiring dengan itu, tempat-tempat malukat yang banyak terdapat di pedesaan dan lazim disebut “beji” dengan tampilan apa adanya (alami) kini seakan berlomba “divermak”. Mulai dari kondisi fisik (bangunan), penataan area, lingkungan alam (landscape), menambah jumlah pancuran lengkap dengan label fungsinya, plus dilengkapi arca/patung yang menggambarkan sosok tertentu (dewa/bhatara/dewi/raja/ratu, dll) untuk menambah
daya spirit, magis dan magnetis, sehingga semakin menarik perhatian dan keinginan masyarakat untuk datang malukat.

Multiefeknya, tak dapat dimungkiri berimbas pada sisi ekonomi, semisal pemasukan/pendapatan pihak pengelola dari penjualan tiket masuk, sesari atau dana punia. Belum lagi mendorong tumbuhnya usaha kecil masyarakat sekitar yang bisa mengambil manfaat
semisal membuka lapak/warung/kios, dan sejenisnya.

Kian bergairahlah geliat acara malukat ini, tidak saja sebagai sebuah ritual keagamaan yang bersifat sakral, tetapi sudah bisa “dijual”, setidaknya dipromosikan atau
diviralkan, menjadi semacam komodifikasi, komersialisasi bertendensi kapitalisasi.

Baca juga:  Rekrutmen, Moratorium atau Pemecatan

Jika yang disebut belakangan ini menjadi motif, sebenarnya tidak masalah, cuma patut dipahami bahwa
substansi pokok malukat itu adalah sebuah prosesi ritual sebagai salah satu bentuk peribadatan umat Hindu (Bali).

Penandanya, antara lain: 1) umumnya lokasi malukat adalah di/bagian dari Pura Beji yang berfungsi sebagai tempat: masiram Ida Bhatara saat melis/malasti,
membersih-sucikan sarana kelengkapan upacara/upakara yadnya, memohon air suci terkait pitra yadnya (tirtha panembak) ; 2) disertai sarana bebanten (canang, soda atau pejati) dimana saat menghaturkannya disertai doa-puja mantra yang diantarkan oleh pandita atau pinandita; dan 3) adanya pemujaan (mabhakti/muspa) kepada Beliau yang
bersthana di Pura/Palinggih seraya memohon anugerah (kesehatan, kesejahteraan, kedamaian, keselamatan atau kebahagiaan).

Jadi, prosesi malukat itu sejatinya bersifat spesifik, ada unsur religi (keimanan/keyakinan), dan magi guna menyerap energi/kekuatan, dalam hal ini dari air/tirtha. Kesemua itu dilakukan sebagai realisasi bhakti umat Hindu ke hadapan Hyang Widhi beserta manifestasinya yang disthanakan di tempat malukat untuk membersih-sucikan diri dari segala macam kekotoran/kaletehan (sarwa mala, sarwa klesa, sarwa papa), baik yang
berasal dari pikiran, perkataan maupun perbuatan, termasuk oleh sebab kelahiran.

Baca juga:  Guru, Teknologi dan Moralitas

Lalu bagaimana halnya dengan tawaran malukat kepada ribuan peserta WWF? Sepanjang masih bersifat tawaran sepertinya tidak masalah, karena masing-masing bisa menentukan pilihan – mau ikut atau tidak. Lain soal jika dikemas dalam bentuk acara semacam mandi bersama di tempat yang bisa dan biasa digunakan masyarakat kebanyakan, seperti di pancuran umum, bulakan, campuhan tukad, muara laut di tepi pantai, atau yang paling simpel cukup malukat dengan menggunakan air (bungkak) kelapa gading/gadang di lokasi WWF.

Dengan demikian dimensi religi (ritual) dan magi (sakral) tereliminasi yang sama artinya tidak “mengganggu” sisi keyakinannya yang berbeda dengan umat Hindu.

Penulis, Dosen Fakultas Pendidikan UNHI Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *