Oleh A.A. Ketut Jelantik, M.Pd.
Pro kontra pencabutan Permendikbud Nomor 63 tahun 2014 tentang Pendidikan Kepramukaan Sebagai Ekstrakurikuler Wajib pada Pendidikan Dasar dan Menengah hingga saat ini masih sering mewarnai ruang perdebatan publik. Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim bersikukuh bahwa pihaknya tidak menghapus ekstrakurikuler Pramuka.
Bahkan Kemendikbudristek akan memperkuat nilai-nilai kepramukaan dalam kegiatan pembelajaran di kelas melalui pendidikan karakter. Nadiem menegaskan setiap satuan pendidikan di Indonesia wajib melaksanakan ekstra kurikuler Pramuka. Untuk mengakhiri polemik, dia mengajak semua pihak untuk tidak lagi membicarakan ekstrakurikuler Pramuka karena kegiatan Kepramukaan tetap ada di sekolah.
Sementara Ketua Kwartir Nasional (Kwarnas) Pramuka Komjen Pol (Purn) Drs. Budi Waseso menilai kebijakan yang diambil Kemendikbudristek tidak sesuai dengan langkah-langkah untuk peningkatan pendidikan karakter di Indonesia. Oleh sebab itu dia mendesak agar Mendikbudristek mencabut Permendikbudristek Nomor 12 tahun 2024 yang mana dalam Peraturan Menteri tersebut kegiatan ekstrakurikuler Pramuka tidak lagi wajib, namun opsional artinya ekstrakurikuler Pramuka boleh tidak diikuti oleh siswa. Tulisan ini mencoba untuk menelisik untung rugi jika ekstrakurikuler Pramuka menjadi wajib maupun opsional atau pilihan.
Sejarah kepramukaan atau kepanduan dunia dimulai ketika seorang Letnan Jenderal Inggris Robert Baden Powell sekitar tahun 1907 melaksanakan perkemahan di Pulau Brownsea. Kegiatan yang dilakukan selama perkemahan tersebut berkaitan erat dengan penyelamatan, petualangan dan penjelajahan. Dan setahun setelah itu Robert Baden Powell menulis buku yang berjudul Scouting For Boys. Ternyata buku ini laris manis.
Terbitnya buku tersebut menjadi pemantik bagi berkembangnya organisasi kepramukaan di seluruh dunia. Di Indonesia kepramukaan telah berkembang sejak jaman kolonial Belanda, melalui pembentukan organisasi kepanduan pertama yang diberi nama Nationale Padvondeij Organisatie (NPO) di Kota Bandung. Selanjutnya melalui Mangkunegara VII dibentuk organisasi kepanduan pertama yang diberi nama Javaanche Padvinder Organisatie (JPO).
Organisasi inilah yang selanjutnya menjadi cikal bakal lahirnya Gerakan Pramuka Indonesia tahun 1961 yang dideklarasikan oleh Presiden I Republik Indonesia Soekarno.
Secara historis dan sosiologis, masyarakat Indonesia sudah sangat akrab dengan Gerakan Pramuka atau kepanduan. Jadi sangat dimaklumi jika gelombang protes mengemuka ketika eksistensi ekstrakurikuler Pramuka direduksi dengan mencabut Permendikbud Nomor 63 tahun 2014.
Sapta Prasetya Pramuka yang merupakan tujuh janji anggota Pramuka, serta Dasa Darma Pramuka yakni sepuluh tindakan terpuji yang wajib dilakukan anggota Pramuka merupakan bukti empirik bahwa ekstrakurikuler Pramuka merupakan ladang persemaian bagi bertumbuhnya karakter positif anggotanya. Disiplin, percaya diri, suka menolong sesama, adalah ciri khas dari produk hasil kegiatan ekstrakurikuler Pramuka. Maka dalam kontek ini, wajarlah jika ada desakan agar ekstrakurikuler ini tetap menjadi ekstrakurikuler wajib di sekolah.
Sebagaimana yang tertuang dalam visi Gerakan Pramuka Indonesia yakni sebagai wadah utama pembentukan kader pemimpin bangsa. Namun, hal ini mungkin hanya bisa dirasakan oleh peserta yang memang sejak awal mengikuti ekstrakurikuler ini dilatarbelakangi oleh motivasi internal. Sebut saja, siswa yang memang memiliki hobi berpetualang, suka tantangan atau bahkan memiliki cita-cita untuk bisa berpartisipasi dalam kegiatan Jambore Nasional Pramuka, ajang tertinggi kegiatan kepramukaan. Namun, ceritanya akan berbeda bagi siswa yang mengikuti ekstrakurikuler Pramuka karena dipaksa oleh keadaan, yakni adanya kewajiban.
Mereka yang sama sekali tidak memiliki hobi berpetualang, sedikit introvert namun karena wajib akhirnya mereka dipaksa untuk mengikuti kegiatan yang sesungguhnya tidak mereka sukai. Bagi mereka yang masuk kelompok ini, maka apa yang dilakukan tidak lebih dari sekedar berkumpul tanpa makna. Secara teoritis kondisi seperti ini bisa ditanggulangi dengan memaksimalkan peran pembina. Namun sayang, fakta menunjukan, tidak semua pembina ekstrakurikuler Pramuka di sekolah cukup kompeten dan terampil.
Kondisi ini tentunya rentan dengan perilaku deviant yang justru menyimpang dari Dasa Darma Pramuka. Menjadikan ekstrakurikuler Pramuka wajib di sekolah, acapkali dijadikan lahan bisnis oleh oknum tertentu untuk mendulang keuntungan finansial pribadi. Misalnya dengan mewajibkan siswa untuk membeli pakaian Pramuka lengkap dengan berbagai atributnya di tempat yang telah ditentukan. Bagi orang tua siswa yang secara ekonomi berasal dari kelompok menengah atas, tentu bukan persoalan. Namun akan menjadi persoalan bagi para orang tua siswa yang berasal dari kelompok bawah.
Kegiatan ekstrakurikuler di sekolah hendaknya mengutamakan prinsip menyenangkan, membangun etos kerja, serta memberikan manfaat sosial. Oleh sebab itu memberikan kebebasan kepada siswa untuk menentukan pilihan tentu sebuah keniscayaan. Nilai-nilai kepanduan terbukti bermanfaat, dan itu wajib diberikan kepada siswa. Yang dibutuhkan adalah komitmen seluruh stakeholder pendidikan termasuk orang tua. Maka, apakah ekstrakurikuler Pramuka di sebuah sekolah nantinya menjadi wajib atau pilihan, keputusan ada di tangan para pemangku kepentingan sekolah. Kurikulum Merdeka memberikan ruang untuk itu. Semoga.
Penulis, Pengawas Sekolah Dikpora Bangli, juga Fasilitator Sekolah Penggerak Kemendikbudristek A3