DENPASAR, BALIPOST.com – Enam orang saksi dihadirkan JPU Agus Iswara, I Kadek Wahyudi Ardika dkk., dalam dugaan korupsi di LPD Kedewatan saat sidang di Pengadilan Tipikor Denpasar, Selasa (7/5).
Mereka adalah I Nyoman Sudiana, Dewa Widnya, I Made Partasunia, I Ketut Sudiatmika (tim dari panureksa hingga penyelamat LPD) dan dua dari pihak LPLPD yakni I Nyoman Wiryana dan Ni Ketut Soni.
Duduk sebagai terdakwa dalam sidang yang diketuai Anak Agung Made Aripathi Nawaksara adalah I Wayan Mendrawan, M.Si., (Ketua LPD) I Nyoman Ribek Adi Putra (Bendahara/Petengen LPD Kedewatan) didampingi kuasa hukumnya.
Dari kesaksian pihak panureksa, yang bersaksi Bendesa Adat Kedewatan, dijelaskan bahwa ada temuan audit LPLPD yang menemukan adanya dugaan penyimpangan atau selisih kas mencapai Rp 11,5 miliar. Di samping itu, banyak ketidak beresan ditemukan pihak panureksa yang sudah dibeber di depan persidangan.
Awalnya Bendesa menjelaskan sumber dana awal LPD adalah bantuan dari Gubernur Bali, yang tujuannya untuk perekonomian masyarakat adat. Diberikan Rp 5 juta, dan ada juga bantuan dari Pemkab Gianyar.
Saat JPU Iswara menanyakan bagaimana kondisi LPD Desa Adat Kedewatan, saat itulah para saksi membongkar peristiwa yang terjadi. Yakni, ada krama adat yang tidak menarik tabungan, ada kredit fiktif atau kredit topengan, ada administrasi yang diduga amburadul. Kemana uangnya?
Dari sanalah Bendesa bercerita bahwa awalnya saat saksi selaku jro Bendesa masuk terjadi perdebatan. Namun dengan niat baik, dilakukan penelusuran dan menemukan adanya beberapa kejanggalan. Termasuk adanya kredit di atas Rp 100 juta tanpa sepengetahuan dan persetujuan bendesa. Ada juga kredit biasanya khusus untuk krama kedewatan, namun faktanya banyak keluar desa.
Namun disebut dalam laporan pertanggungjawaban 2018, 2019 LPD Kedewatan masih untung. Mengetahui ada beberapa kejanggalan, Bendesa Adat yang tidak mau membuat resah sempat menggelar rapat di tempat sepi. Dan puncaknya diketahui saat rapat ada laporan bahwa ada audit LPLPD dan ditemukan penyimpanan Rp 11, 5 miliar.
“Saat itu kami bertanya mengapa panureksa tidak dikasih tahu soal ada audit LPLPD. Jawaban pengurus LPD akan diselesaikan sendiri,” ucap saksi.
Panureksa kemudian meminta bahwa temuan penyimpangan Rp 11,5 miliar itu diselesaikan selama tiga bulan.
Masih di persidangan, tak lama setelah adanya temukan dugaan penyimpangan itu, ada casbon dari pengurus dan staff karyawan LPD, yang nominalnya tidak jauh dari angka tersebut. Karena curiga dan ingin mengetahui secara detail, maka panureksa membentuk pansus, untuk membantu, mendata orang-orang pinjeman sesuai nama tertera.
Hasilnya, setelah mendatangi nama-nama yang tercantum, mereka mengaku tidak pernah mengajukan pinjeman. Namun faktanya secara administrasi namanya ada masuk peminjam.
Hal menarik lainnya yang diungkap Bendesa, pengurus LPD sempat dalam rapat bersama warga tahun 2018 pengurus menyatakan menaruh uang di BPD Cabang Ubud Rp 10 miliar.
Namun mengapa masyarakat Kedewatan tidak bisa menarik uang di LPD. “Juga saat mau menarik uang untuk membuat Tenten Mart juga LPD tidak bisa mencairkan. Dan setelah dicek, ternyata di BPD Ubud hanya ada Rp 21 juta, ” beber saksi. (Miasa/Balipost)