John de Santo. (BP/Istimewa)

Oleh John de Santo

Selama ini masyarakat meyakini bahwa pendidikan sekolah berperan sebagai jalan pintas menuju kesuksesan hidup. Sekolah adalah lembaga yang paling diandalkan untuk membentuk pikiran dan sikap generasi muda.

Lembaga pendidikan sekolah diyakini sepenuhnya membantu anak muda untuk mempersiapkan diri menghadapi masa depan yang penuh tantangan. Namun pada saat yang sama, masyarakat juga berpendapat, bahwa sistem pendidikan sekolah yang ada saat ini, masih jauh dari sempurna.

Hal ini, tercermin dalam berbagai kebijakan pendidikan sekolah yang selalu berubah-ubah dan terkesan uji coba, bahkan dinilai gagap, menghadapi perubahan yang kian pesat. Melalui artikel ini, penulis mengutarakan asumsi mengenai sisi gelap dari pendidikan sekolah sambil mengeksplorasi tantangan-tantangan yang kian terasa.

Pekerja Bukan Pemikir

Harus kita akui, bahwa dalam kesadaran kolektif masyarakat, tujuan utama pendidikan sekolah adalah mempersiapkan siswa untuk memasuki pasar kerja. Meskipun persiapan semacam ini penting, tetapi fokus utama pendidikan sekolah seyogianya tidak hanya sebatas menghasilkan pekerja sesuai tuntutan industri, melain harus lebih dari itu. Pendidikan sekolah berkewajiban membina para siswa untuk menjadi pemikir dan pelaku kehidupan yang independen.

Baca juga:  Puluhan Sekolah di Buleleng akan Direhab

Pendidikan sekolah tidak boleh membatasi potensi anak untuk mencapai kemandirian dan inovasi. Apa yang sering dikatakan sebagai pilihan siswa sesuai minat dan bakat itu hanya sebatas retorika.

Semuanya diseragamkan, merdeka belajar masih sebatas slogan indah yang nanti juga akan diganti dengan slogan lain yang dirasa lebih indah. Dengan menuntut kepatuhan terhadap kurikulum, tanpa sengaja, sekolah sebenarnya menghambat kreativitas, pemikiran kritis, bahkan aneka tuntutan yang disyaratkan jaman untuk sukses di masa depan.

Salah satu aspek yang paling sering didebatkan dari sistem pendidikan sekolah adalah ketergantungan pada skor akademik sebagai ukuran keberhasilan. Dalam banyak kasus, nilai akademik hanya mencerminkan kemampuan siswa untuk menghafal dan menuangkan kembali informasi yang dihafalnya pada saat ujian.

Skor akademik itu tidak bisa menilai kemampuan penalaran, pemecahan masalah, atau pemikiran kritis. Penekanan yang berlebihan terhadap model penilaian semacam ini, tentu mereduksi inteligensi siswa secara sempit.

Sekolah dan Kenyataan Hidup

Dalam pengaturan kelas tradisional, siswa sering dijejali dengan berbagai jenis materi pelajaran dan kemudian pemahaman mereka terhadap materi pelajaran itu diuji kembali. Namun demikian, pendekatan ini tidak sejalan dengan cara kita belajar dan bertumbuh di dunia nyata. Kenyataannya, kita sering dihadapkan terlebih dahulu dengan berbagai tantangan dan rintangan yang mendatangi kita secara spontan, dan setelah kita mengatasi berbagai tantangan dan rintangan itu, barulah kita mendapatkan pelajaran berupa pengalaman berharga.

Baca juga:  “Pegat Wakan: Pegat Matuwakan”

Tetapi dengan memprioritaskan pengetahuan teoritis dan mengandalkan simulasi terhadap pembelajaran praktis, pendidikan sekolah tak mungkin lagi diadalkan sebagai satu-satunya jalan menuju sukses masa depan.
Tuntutan sistem pendidikan berdasarkan kurikulum yang luas dan sering kurang fleksibel, menyulitkan siswa untuk mengeksplorasi dan mengembangkan minat dan kemampuan khasnya.

Dengan fokus pada pencapaian nilai akademik yang tinggi dalam berbagai mata pelajaran, banyak siswa mungkin merasa terpaksa mengabaikan impian mereka, demi mengejar prestasi akademik, dan mengalihkan perhatian terutama kepada bidang yang mungkin sebenarnya tidak menarik atau tidak relevan dengan hidup mereka.

Kurangnya kebebasan untuk mengeksplorasi minat pribadi tersebut, justru menghambat perkembangan individu yang berpengetahuan luas dan bersemangat untuk terus belajar. Terdapat kesalahpahaman umum, bahwa pendidikan yang baik itu identik dengan kesuksesan finansial.

Baca juga:  Di Hari Valentine, SMKTI Bali Global Buka Pendaftaran Siswa Baru

Meskipun pendidikan sekolah dapat membuka pintu dan memberi peluang, ia tidak dengan sendirinya menjamin kekayaan atau stabilitas keuangan. Bahkan, tekanan yang berlebihan untuk berhasil secara akademis, terutama ketika pendidikan dipandang sebagai investasi demi mendapatkan pekerjaan bergaji
tinggi, justru penekanan itu akan menyebabkan terbentuknya pola pikir, di mana uang menjadi
tujuan utama pendidikan.

Pola pikir ini mengorbankan kenyataan bahwa hasil akhir dari pendidikan adalah pemenuhan pribadi (self fulfillment) dan kebahagiaan. Dengan kata lain, tujuan akhir dari pendidikan formal adalah terbukanya pikiran dan hati untuk tetap belajar.

Mengapa demikian? Karena pembelajaran adalah sebuah urusan yang tak pernah selesai. Jadi, meskipun sistem pendidikan sekolah berperan penting dalam membentuk pikiran generasi muda, kita juga perlu mengakui kekurangannya dan terus mengeksplorasi berbagai model pendidikan alternatif yang lebih mendukung pengembangan siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikirnya, berpengetahuan luas, kreatif, dan kritis.

Penulis, Pendidik dan Pengasuh Rumah Belajar Bhinneka

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *