Prof. Ratminingsih. (BP/Istimewa)

Oleh Prof. Dr. Ni Made Ratminingsih, M.A

Tempat umum (public place) adalah tempat-tempat yang selalu menekankan pada pemberlakukan budaya antre, tak terkecuali adalah bandara. Tempat yang menjadi embarkasi penerbangan ini digunakan oleh kelompok menengah ke atas dalam melakukan perjalanan baik internasional maupun domestik.

Mereka yang menggunakan tempat umum ini sudah selayaknya tahu aturan antre, karena mereka pastinya
adalah kebanyakan masyarakat terdidik yang memiliki literasi terhadap aturan. Namun apa daya, masih ada saja orang-orang yang tanpa merasa berdosa menyerobot dan mendahului orang lain yang ada di depannya.

Terlebih, yang mendahului ini adalah orang-orang yang masih muda, laki-laki, terlihat terpelajar, dan dengan tampilan keren. Yang patut dicatat dan disayangkan adalah ketika yang bersangkutan sudah ditegur karena menyerobot, tanpa dosa berkata supaya cepat dan tidak meminta maaf atas kesalahannya tersebut.

Mungkin kesalahan tersebut dianggap hal kecil sehingga tidak perlu meminta maaf. Yang lebih miris lagi, ada kejadian pelanggaran antrean justru ditunjukkan oleh mereka yang berkunjung ke rumah Tuhan. Mereka tak peduli bahwa menyerobot orang lain di depannya, atau bahkan pintu gerbang yang harusnya digunakan untuk pintu keluar, diserobot sebagai pintu masuk, yang paling parah ada yang sampai memanjat tembok demi untuk tidak mengantre.

Baca juga:  LPD pada Era Revolusi Industri 4.0

Untuk berkunjung ke rumah Tuhan saja melanggar, bagaimana dengan hal-hal lainnya? Orang-orang di jaman sekarang ini tampak semuanya ingin serba cepat dan instan, tanpa peduli orang lain, apalagi menghormatinya. Bila diberi tahu, berkilah dan berulah seolah benar. Bahkan bisa jadi marah tanpa ada rasa berdosa. Tampaknya urat malunya melanggar antrean sudah putus.

Apa yang menyebabkan hal-hal seperti ini seolah baik-baik saja oleh kebanyakan oknum di era serba modern ini? Pada kasus di bandara di atas, setelah dilaporkan ke petugas pengecekan bagasi, petugas tersebut bahkan menyampaikan banyak dari kita yang ber-KTP Indonesia melakukan hal seperti ini.

Kejadian ini mengindikasikan bahwa banyak masyarakat kita masih belum sadar akan kewajiban untuk antre, padahal kebiasaan menyerobot tersebut menunjukkan pelanggaran hak orang lain yang datang lebih awal, mestinya mendapatkan pelayanan lebih awal juga (first comes first serves). Bagaimana kita akan menjadi negara maju, bila hal-hal kecil belum bisa kita lakukan dengan kedisiplinan.

Baca juga:  Dokter Robot Atasi Covid-19

Di negara maju, penegakan aturan antre ini lebih tegas dan teratur. Penduduknya biasanya ketat mengikuti aturan dan prosedur yang ditetapkan untuk antre dengan disiplin yang tinggi.

Mereka biasanya menunggu giliran mereka dengan sabar dan menghormati proses antre dengan baik. Bahkan anak-anak sejak kecil sudah dibiasakan dengan budaya antre tersebut. Budaya antre disana berlaku egaliter artinya tidak ada menspesialkan siapapun, semua sama saja.

Meski dia orang penting atau tidak penting, pejabat atau bukan pejabat, laki atau perempuan, ketika mereka mengantre maka mereka akan mengikuti prosedur tersebut dengan baik. Jadi tidak ada pemberian keistimewaan bagi orang tertentu untuk mendahulukan atau menyerobot antrean.

Kesuksesan pendidikan di suatu negara bisa diperhatikan dari sikap dan perilaku masyarakat menggunakan fasilitas di tempat publik. Budaya mengantre berkaitan dengan sikap dan perilaku kedisiplinan. Dalam kedisiplinan tersebut melibatkan kesabaran, toleransi, dan penghormatan terhadap hak-hak orang lain.

Baca juga:  Mewujudkan “Smart City”

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk membudayakan kebiasaan mengantre. Salah satu melalui semua jalur pendidikan. Pada pendidikan informal, para orangtua hendaknya mampu mengajarkan anak-anak sejak dini untuk bisa menghargai orang lain ketika mengantre, misalnya di warung, toko atau di tempat peribadatan.

Pada tataran formal, guru bisa mengaplikasikan budaya antre ketika siswa masuk ke suatu ruangan kelas, atau ketika bergiliran berbicara dalam sebuah kegiatan diskusi atau tanya-jawab, termasuk antre dalam menggunakan fasilitas sekolah seperti komputer, dan
mendapatkan pelayanan administrasi.

Pada level non formal, tampaknya pemerintah dan masyarakat juga perlu menerapkan konsep egaliter seperti di bank, strik dengan aturan antre dengan memberikan nomor antrean, termasuk perangkat desa hendaknya juga wajib mensosialisasikan kesadaran budaya antre dan bila perlu menerapkan sanksi dan
hukuman bagi mereka yang melanggar aturan, terutama dalam pemanfaatan fasilitas umum.

Penulis, Dosen Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *