Prof. Dr. Ir. Gede Sedana,M.Sc., M.M.A. (BP/kmb)

DENPASAR, BALIPOST.com – Pada tanggal 18 – 25 Mei 2024, Bali akan menjadi tuan rumah acara internasional terbesar dalam bidang air, The 10th World Water Forum (WWF). Sebagai pusat kebijakan global, forum ini bukan hanya menghadirkan pemangku kepentingan dari seluruh dunia, tetapi juga memberikan peluang bagi Bali untuk menunjukkan kearifan lokalnya dalam pengelolaan air.

 

Masyarakat Bali memandang air bukan sekadar sumber daya melainkan inti dari spiritualitas dan kebudayaan. Sumber-sumber air di Bali dianggap sebagai sumber spiritual dan pusat peradaban air yang memberikan kehidupan bagi seluruh makhluk hidup serta memperkaya keberlajutan ekosistem sekitar.

Pelaksanaan WWF ini dibahas dalam Dialog Merah Putih Bali Era Baru “WWF Ke-10 di Bali: Pemuliaan Air Untuk Kesejahteraan Bersama”, di Warung Coffee 63 A Denpasar, Rabu (8/5). Hadir sebagai narasumber Rektor Dwijendra University Denpasar, Prof. Dr. Ir. Gede Sedana, M.Sc., MMA., Ketua PHDI Provinsi Bali, I Nyoman Kenak dan Akademisi Unhi Denpasar, Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si.

Rektor Dwijendra University Denpasar, Prof. Dr. Ir. Gede Sedana, M.Sc., MMA., mengatakan, alasan Bali selalu menjadi tempat perhelatan event internasional, sebab Bali jika dilihat dari atas antariksa selalu ada titik cahaya yang bersinar. Cahaya ini menjadi taksu bagi masyarakat Bali dan dunia. Menurutnya, Bali selalu memiliki “magic” yang sangat kuat, sehingga apapun yang dibahas dan didiskusikan tentang persoalan dunia akan mendapatkan keteduhan dan hasilnya bermanfaat bagi dunia. Keteduhan ini dimaknai sebagai air. Sehingga, WWF ke-10 ini diselenggarakan di Bali.

Baca juga:  2045, Bali Targetkan Seluruh Kendaraan R2 Bertenaga Listrik

Sedana mengatakan ada kearifan lokal yang sangat tinggi dan kuat dimiliki Bali. Sebagai salah satu contohnya yang kaitannya dengan air adalah adanya warisan budaya dunia, yakni subak. Subak telah diakui oleh Unesco sebagai warisan budaya dunia pada tahun 2012. Subak diakui sebagai budaya dunia bukan karena keindahannya, tetapi karena sistem budaya yang menjadikannya bagian yang sangat penting untuk dunia. Dan faktor yang paling kuat mengikat subak adalah air.

“Oleh karena itu, dicobalah Bali untuk menjadi tempat atau venue penyelenggaraan WWF, karena air ini akan menjadi penghubung antardunia. Air sungai sampai kemudian air laut yang terpisahkan antar benua antarpulau, dan ada air inilah yang bisa menyatukan kita,” tandasnya dalam Dialog Merah Putih Bali Era Baru “WWF Ke-10 di Bali: Pemuliaan Air untuk Kesejahteraan Bersama”, di Warung Coffee 63 A Denpasar, Rabu (8/5).

Ketua PHDI Provinsi Bali, I Nyoman Kenak mengatakan, WWF ke-10 yang diselenggarakan di Bali bertepatan dengan Rahina Tumpek Uye. Ini bukan suatu kebetulan semata, namun karena takdir Bali yang memiliki taksu tersendiri. Sehingga, pemimpin dunia memilih Bali sebagai tempat perhelatan forum air sedunia. Dikatakan, hampir 70 persen dunia ini terdiri dari air. Begitu juga dalam tubuh manusia yang terdiri dari 70 persen air. Oleh karena itu, masyarakat Bali sangat memuliakan air untuk kelangsungan hidup melalui upacara dan upakara. Inilah yang menyebabkan taksu Bali jauh berbeda dibandingkan daerah lainnya di dunia. Sebab, keseimbangan bhuana agung dan bhuana alit selalu dijaga keseimbangannya untuk kehidupan yang harmonis.

Baca juga:  Kembalikan Kepercayaan Dunia Internasional, Gubernur Koster Tegaskan Tangani COVID-19 Lebih Fokus di 2 Daerah Ini

Kenak mengajak seluruh masyarakat Bali untuk turut berpartisipasi agar perhelatan WWF ke-10 di Bali berjalan sukses sesuai dengan harapan. Sehingga, Bali yang memiliki kekuatan taksu dan menjadi daerah tujuan wisata dunia semakin dikagumi. Dengan demikian, masyarakat dunia akan terus berkunjung ke Bali untuk menikmati keindahan alam dan budaya Bali yang adi luhung, sehingga kesejahteraan masyarakat Bali akan terus meningkat.

Akademisi Unhi Denpasar, Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si., mengungkapkan air di Bali bukan sekadar sumber kehidupan fisik, tetapi juga memiliki makna spiritual dan budaya yang mendalam. Air digunakan dalam berbagai ritual dan upacara keagamaan. Bahkan, dalam konteks kearifan lokal, penggunaan air tidak hanya terbatas pada aspek praktis, tetapi juga mencakup penghormatan terhadap nilai-nilai spiritual dan budaya yang turun-temurun.

Baca juga:  Klungkung Terima Penghargaan Natamukti ICSB Indonesia

Dikatakan, secara konseptual salah satu unsur alam adalah apah atau air yang merupakan bagian dari pancamaha bhuta dalam ajaran Agama Hindu. Bahkan secara historis, Hindu pernah disebut sebagai agama tirtha. Karena setiap ritual keagamaan atau yadnya nyaris tidak pernah lepas dari unsur air sebagaimana disebutkan dalam Bhagawadgita Bab IV Sloka 10. Artinya, air sudah menjadi bagian yang melekat dari keberadaan umat Hindu di Bali. Baik secara teologis, filosofis, maupun historisnya. Oleh karena itu, air sering digunakan dalam berbagai upacara keagamaan dan ritual di Bali, seperti dalam prosesi melukat atau mandi suci.

Terkait dengan WWF, dikatakan Bali tidak hanya menjadi tuan rumah secara fisik, tetapi juga berfungsi sebagai perwakilan nilai-nilai lokal yang dapat memberikan kontribusi pada pemecahan masalah air global. Pertemuan ini menjadi momen bagi Bali untuk membagikan kearifan lokalnya, memperkenalkan inovasi-inovasi berbasis lokal yang telah terbukti efektif dalam menjaga ketersediaan air untuk kesejahteraan bersama. (Ketut Winata/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *