Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si. (BP/kmb)

Oleh : I Gusti Ketut Widana

Menurut Charles Darwin, secara biologis manusia dikatakan berevolusi dari makhluk primata (sejenis kera) berdasarkan bukti temuan  fosil yang jika dikonstruksi seperti berkesesuaian pertumbuhan  fisikalnya. Secara historis, manusia juga disebutkan  berkembang dari  homo animal (seperti hewan), lalu meningkat menjadi homo sapiens (manusia pintar) dan memuncak sebagai homo religius (berkesadaran Tuhan).

Tokoh eksistensialisme modern  FW. Nietsche, pun menyatakan manusia sebagai binatang kekurangan (a shortage animal), yang tidak pernah  puas (das rucht festgestelte tier)  memenuhi kebutuhan hidupnya.

Meski secara evolusi tampak masuk akal, namun tetap saja diluar nalar, karena merujuk landasan  tattwa (ontologis), terutama dari sisi teologis — agama manapun — tetap  meyakini bahwa manusia itu ciptaan Tuhan dengan kelengkapan bayu-sabda-idep (gerak, suara dan pikiran), sedangkan hewan/binatang hanya memiliki bayu-sabda. Memang  secara anatomis terdapat kemiripan dengan hewan primata, bahkan dari sisi volume otak  nyaris mendekati persamaan, namun hewan tetaplah binatang yang berbeda dengan  manusia.

Baca juga:  Pergolakan Perempuan Bali Saat Pandemi

Pembedanya,  penggerak tindakan manusia tidak hanya bersumber dari “citta/manah” (akal/pikiran) tetapi  lebih penting lagi dan ini menunjukkan strata kemakhlukannya adalah terletak pada kesadaran “budhi” (kebijaksanaan). Hanya saja ada satu  unsur lagi yaitu “ahamkara” (ego/keakuan) yang acapkali menjerumuskan manusia hingga jatuh ke level hewaniah, antara lain lewat perilaku lobha (rakus/serakah).

Melalui rerainan suci Tumpek Uye/Kandang yang dilaksanakan setiap Saniscara Kliwon wuku Uye, umat Hindu (Bali)  diingatkan untuk mentransformasi karakter hewaniah menjadi semakin insaniah. Secara teologi,  ritual Tumpek Kandang adalah   persembahan kehadapan Hyang Widhi, Sang Hyang Siwa Pasupati, disebut juga Rare Angon, penggembala makhluk  jenis hewan.

Sedangkan secara filosofi, merupakan  moment “mengandangkan” sifat/karakter hewaniah (lobha)  yang melekat pada manusia agar tetap menjadi makhluk insaniah, lebih bijak dan manusiawi dalam memperlakukan  segala jenis hewan  sebagaimana mengasihi/menyayanyi atau merawat diri sendiri.

Bentuk kongkritnya, tidak cukup hanya dengan “ngotonin” hewan peliharaan atau binatang kesayangan, seperti sapi, babi, juga anjing. Malah  kebun binatang di Bali, semua penghuninya mulai dari monyet,  orang hutan, kuda, harimau, singa, gajah, kuda, ular, dll juga “diotonin”. Bahkan mendapat perlakuan spesial dengan mendandani  hewan/binatang tersebut,  dikenakan kain/kamben, saput termasuk destar/udeng, seperti layaknya “ngotonin” manusia yang memang patut dilakukan berdasarkan  waktu kelahiran menurut perhitungan wewaran (sapta wara, panca wara dan wuku).

Baca juga:  Sampradaya

Lalu, terhadap hewan, kapan dilahirkan? Meskipun bisa diketahui (dicatat)  tetap saja tidak dalam arti “ngotonin” seperti manusia yang bersifat individual/personal, sedangkan untuk binatang, dan juga tumbuhan diperingati secara khusus pada hari Tumpek (Uye dan Wariga).

Belakangan, muncul lagi fenomena nyleneh, terutama ketika binatang peliharaan/kesayangan itu mati, kini sudah ada jasa kremasi khusus hewan seperti layaknya ngaben sawa (jenazah) manusia, lengkap dengan upakara bebantennya. Cuma pertanyaan usilnnya, apakah berlanjut dengan upacara mamukur (penyucian sang jiwa/roh) hewan tersebut dan ngalinggihang,  dimana?

Ada-ada saja  ekspresi umat Hindu di Bali, yang menurut Erving Guffman pencetus teori Dramaturgi, tak ubahnya seperti bermain drama/teater alias bersandiwara. Bahkan dengan mengadopsi pandangan Jean Baudrillard lewat teori Simulakrum/Simulakra, hal itu dapat dikatakan sebagai bagian dari kehidupan Hyper reality.

Baca juga:  Tumpek Kandang, BSMP "Plaspas" Bali Myna Aviary

Bahwa yang dilakukan umat seperti fenomena diatas tak lebih hanya sekadar simulasi (permainan), bukan sebagai kebenaran yang sepatutnya menjadi sumber rujukan dalam mempraktikkan ritual keagamaan yang bersifat sakral seperti halnya Tumpek Kandang.

Ritual suci Tumpek Kandang itu sendiri, makna sejatinya adalah  menumbuhkan kesadaran umat agar senantiasa berbuat kebaikan pada  makhluk Tuhan yang tergolong “sato”, dimana dari segi hierarkhi penciptaan makhluk hidup berkedudukan selaku “bapa” (bapak), sedangkan tumbuhan/pepohonan sebagai “kaki-nini” (kakek-nenek). Karena itu, kata kunci peringatan Tumpek Kandang adalah “berbuatlah agar semua orang, hewan/binatang dan segenap makhluk hidup berbahagia”, sebagaimana kita membahagiakan orang tua, kakek nenek sendiri, begitu amanat kitab suci Yajurweda, XVI. 48 mengingatkan manusia untuk kembali pada sifat insaniah bukan mengajegkan watak hewaniah.

Penulis, Dosen Fakultas Pendidikan UNHI Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *