Oleh John de Santo
Sidang sengketa Pemilu 2024 dan masyarakat sepertinya sudah menerima keputusan MK (Mahkamah Konstitusi) yang menolak seluruh gugatan paslon 01 dan 03. Tetapi di luar sidang MK masih berkembang polemik tentang filsafat dan hukum. Pengacara kondang Hotman Paris dan Otto Hasibuan terang-terangan mengatakan bahwa, filsafat dan hukum itu berbeda.
Filsafat bersentuhan dengan hal-hal remeh seperti dongeng. Sedangkan hukum berurusan hal-hal yang lebih substansial dan pragmatis. Apakah kita perlu melihat filsafat dan hukum sebagai dua disiplin ilmu yang berbeda dan tidak saling terkait? Bagi penulis, filsafat dan hukum itu adalah dua disiplin ilmu yang tak bisa dipisahkan.
Mengapa? Semua sarjana hukum apalagi ahli hukum, pasti belajar juga tentang filsafat hukum. Dalam filsafat hukum, tergambar jelas bahwa korelasi antara kedua bidang itu sangat erat dan mendalam. Filsafat hukum menggali dan memberikan analisis filosofis yang komprehensif tentang hukum dan lembaga hukum. Tugasnya menjawab pertanyaan konseptual dan abstrak tentang sifat hukum, sistem hukum, hubungan antara hukum dan moralitas, serta dasar-dasar pembenaran terhadap suatu lembaga hukum.
Jadi, harus kita akui bahwa hubungan antara hukum dan filsafat itu ada, meskipun hubungan itu bersifat sangat kompleks dan beragam. Filsafat hukum memberikan analisis filosofis umum mengenai hukum dan lembaga hukum. Isu-isu praktis di lapangan selalu berawal dari pertanyaan konseptual tentang sifat hukum dan sistem hukum itu sendiri, hingga pertanyaan normatif tentang hubungan antara hukum dan moralitas, serta dasar pembenaran terhadap berbagai lembaga hukum. Pertanyaan-pertanyaan tersebut, tidak mungkin dijawab oleh hukum itu sendiri, tanpa pertimbangan-pertimbangan filosofis.
Topik dalam filsafat hukum memang cenderung lebih abstrak daripada topik terkait filsafat politik dan etika terapan. Sebagai contoh, pertanyaan tentang bagaimana menafsirkan konstitusi kita secara benar menurut teori demokrasi, sudah barang tentu berada di bawah judul filsafat politik. Sedangkan analisis interpretasi hukum, tentu ada di bawah judul filsafat hukum. Dan, pertanyaan tentang apakah hukuman mati diperbolehkan secara moral, pasti berada di bawah judul etika terapan.
Semua praktisi hukum paham bahwa, filsafat hukum umumnya jatuh ke dalam tiga kategori, yakni: yurisprudensi analitik, yurisprudensi normatif, dan teori hukum kritis. Yurisprudensi analitik mengurusi ketersediaan analisis terhadap esensi hukum sehingga orang dapat memahami apa yang membedakannya dari sistem norma lain, seperti etika.
Yurisprudensi normatif melibatkan pemeriksaan normatif, evaluatif, dan isu-isu preskriptif tentang hukum, seperti pembatasan kebebasan, kewajiban untuk mematuhi hukum, dan alasan hukuman. Sedangkan, teori-teori hukum kritis, seperti studi hukum kritis dan yurisprudensi feminis, berfungsi menguji bentuk-bentuk filsafat hukum tradisional.
Sesungguhnya, entitas hukum tidak sesederhana yang dibayangkan. Hukum yang berlaku sekarang ini dikonstruksi oleh para pemikir besar, dan bukan mustahil, mereka juga adalah para filsuf yang mempertanyakan segala sesuatu, termasuk keadilan dan kebenaran itu sendiri.
Tiga Aspek Hubungan
Dari perdebatan di media sosial, terdapat kesan adanya upaya memisahkan filsafat dari hukum. Dengan perkataan lain, filsafat dipandang hanya mengurusi hal-hal yang mengawang-awang dan tidak riil seperti mendongeng, sedangkan hukum mengurusi hal-hal yang lebih substansial dan prakmatis. Menurut hemat penulis, pemisahan ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang tidak paham filsafat hukum. Karena kedua bidang ini, sepanjang sejarah memiliki hubungan yang erat, mendalam, dan saling mengandaikan. Tak bisa kita sangkal, justru ide-ide filosofis sering menjadi dasar bagi pembentukan sistem dan prinsip hukum.
Menurut hemat penulis, secara sederhana, hubungan antara filsafat dan hukum tersebut dapat dilihat dalam 3 aspek berikut. Pertama, Landasan Etika Hukum. Filsafat berperan penting dalam membangun fondasi etika hukum. Filsafat moral dan politik, misalnya, memberikan prinsip-prinsip yang mendukung sistem hukum, seperti keadilan, kesetaraan, kebebasan, dan hak.
Kedua, Teori Hukum dan Filsafat. Teori hukum sering menggali pertanyaan filosofis tentang sifat hukum itu sendiri. Pertanyaan tentang sumber otoritas hukum, hubungan antara hukum dan moralitas, atau batas-batas kekuasaan negara, secara inheren bersifat filosofis. Ketiga, filsafat berperan penting dalam membentuk sistem dan kerangka hukum.
Konsep-konsep seperti keadilan, hak, dan etika berakar kuat dalam pemikiran filosofis dan memiliki dampak langsung terhadap pengembangan dan interpretasi hukum. Misalnya, teori keadilan dari para filsuf seperti John Rawls atau Immanuel Kant, justru memengaruhi bagaimana masyarakat mengonseptualisasi dan menerapkan hukum yang mengedepankan kesetaraan dan keadilan.
Penulis, Pendidik dan Pengasuh Rumah Belajar Bhinneka