DENPASAR, BALIPOST.com – Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengajukan protes terhadap rencana penyimpanan pasir (sand stockpile) di kawasan hutan lindung Bukit Gumang, Desa Bugbug, Karangasem. Protes ini disampaikan saat pembahasan mengenai Kerangka Acuan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) rencana sand stockpile, Selasa 21 Mei 2024.
Menurut Direktur WALHI Bali, Made Krisna Dinata S.Pd., mengatakan proyek ini akan melaksanakan kegiatan penyimpanan pasir di lahan seluas kurang lebih 4,8 hektar dan akan menampung pasir sebanyak 500.000 meter kubik. Proyek ini diprakarsai oleh Balai Wilayah Sungai (BWS) Bali-Penida. Ia menilai kegiatan tersebut bertentangan dengan Peraturan Daerah nomor 2 tahun 2023 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Bali.
Di dalam peraturan RTRW tidak ada disebutkan jika penyimpanan pasir dapat dilakukan di kawasan hutan lindung. Lebih lanjut kegiatan tersebut juga tidak tercantum dalam Perda nomor 17/2012 j.o 17/2020 peraturan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Karangasem. “Kami Menilai kegiatan penyimpanan pasir (Sand Stockpile) yang akan dilakukan di Kawasan Hutan Lindung Bukit Gumang RTK 4 tidak sesuai dengan peraturan Tata Ruang dan kegiatan ini justru akan berpotensi menghilangkan jumlah tutupan hutan hutan lindung,” kata Krisna dikutip dari keterangan tertulisnya.
Sathya Tirtayasa mewakili Frontier Bali juga menyoroti kegiatan ini. Ia mengungkapkan bahwa lokasi tapak proyek masuk dalam PIPPIB (Peta Indikatif Penghentian Pemberian Perizinan Berusaha, Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan, Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Baru) pada Hutan Alam Primer dan lahan Gambut karena lokasi tersebut merupakan perluasan Kawasan Hutan Lindung Kelompok Hutan Bukit Gumang (RTK.4) dan amar 9 huruf F dalam SK 3554/MENLHK-PKTL/IPSDH/PLA.1/3/2023 tertanggal 28 Maret 2023. “Sehingga Kawasan yang dimohonkan untuk kegiatan penyimpanan pasir bisa dikatakan menjadi areal Penghentian Pemberian Perizinan Berusaha,” ungkapnya.
Terpisah, Divisi Advokasi KEKAL Bali, I Made Juli Untung Pratama, S.H., M.Kn menambahkan jika lokasi rencana kegiatan ini berpotensi mengancam nelayan setempat. Sebab lokasi tersebut merupakan area untuk tambat perahu nelayan dan aktivitas keseharian nelayan. “Proyek yang mengancam hajat hidup nelayan seharusnya ditolak terlebih dalam dokumen Formulir KA AMDAL tidak disebutkan dengan jelas bagaimana menanggulangi dampak tersebut,” tegasnya. (Wayan Suka Adnyana/balipost)