I Ketut Murdana. (BP/Istimewa)

Oleh I Ketut Murdana

Seni telah hadir sejak zaman dahulu kala, berperan besar terhadap kehidupan manusia. Ketika nenek moyang kita memulai kehidupan berhadapan dan berhubungan dengan keberadaan alam semesta beserta segala misterinya.

Sejak saat itu seni hadir dan dihadirkan untuk mengungkap hal-hal yang amat rahasia, mempresentasi harapan-harapan menjadi bahasa rupa simbolik. Rajutan nilai-nilai yang bermisteri kesemestaan itu menjadi realitas yang terindrawi, hingga menjadi pusat dan objek komunikasi di antara “yang nyata dan yang tidak nyata”

Karena demikian luasnya ragam misteri itu, hingga tak terjangkau oleh alam pikir, maka disebut misteri dari segala misteri. Dalam kontek tersebut seni telah berperan mewujudkan alam transendental (niskala) menjadi wujud simbolik, methaporik nan kosmologis (sekala). Wujud seni itu merefleksi penghayatan pengalaman mendalam tentang “sesuatu” yang tak terindrawi maupun yang dirasakan, dalam ruang ilusi transendental hingga menjadi pengalaman spiritual dan pengalaman estetik.

Dinamika respons dengan stimulan imanen rasa halus meresapi pengalaman subjek mengindrawikan wujud seni ragam visual dan ragam audio. Puncak-puncak ekspresi kejiwaan dan nilai-nilai estetiknya adalah puncak kesadaran dan keagungan zamannya, yang sudah dimulai sejak zaman primitif.

Baca juga:  Baligrafi, Upaya Membangkitkan Seni Aksara Bali

Keberadaan ini menempatkan bahwa melalui seni memberi “pengelihatan” atau mengindrawikan kepada pemikiran spekulatif. Maksudnya ruang abstraksi yang bermisteri maha itu, terwakili melalui batasan ungkapan “tertentu”, hingga spekulasi-spekulasi berkembang terus menerus. Melalui realitas ini seni membuka dan mewadahi pemikiran spekulatif, respons apresiatif berubah dan berkembang sesuai alur waktu.

Semuanya itu untuk menjawab harapan hidup kesejahteraan jasmani dan rohani. Harapan berkembang jawabanpun berkembang, membuka ruang spekulatif semakin meluas menjawab kebutuhan estetik dan spiritulitas manusia. Seni dalam kontek ini berperan menggugah, mengangkat realitas fisika ke alam methafisika imajinatif nan intuitif. Dalam kontek ini seni merupakan jalan penyempurnaan hidup dalam kehidupan mencapai “penyatuan” (yoga). Dalam ruang ini seni telah memasuki dan diresapi oleh nilai-nilai kesucian. Bagaikan air sungai telah mencapai samudra. Demikian pula air tawar dan air asin telah menyatu menjadi uap, menunggu saat pendinginan hingga turun menjadi hujan yang menyejahterakan dunia.

Baca juga:  GPDRR dan Arsitektur Tradisional Bali

Dalam pemahaman ini seni merupakan puncak kesadaran, merefleksikan upaya membebaskan diri dari “kemelaratan”. Artinya ketika mentalitas berpikir terpenjara “kebekuan gelap” yang juga disebut “kebodohan” mengakibatkan kemelaratan. Hidup akan terasa kering dan keras bila tidak disejukkan oleh rasa estetik seni dan keindahan alam.

Dalam penciptaan seni membuka ruang dengan segala spekulasinya atau kemungkinan-kemungkinannya. Bertolak dari kemungkinan itu, seni membuka ruang bahwa seni tidak mesti tenggelam dalam nilai estetik semata, tetapi meresapkan nilai-nilai moral humanis sebagai penjiwaan seni mencapai keindahan dan kesucian. Tercapai pengkondisian keindahan jiwa inilah puncak kesadaran menyebabkan segalanya terlihat indah dan membahagiakan.

Sesungguhnya pemikiran mulia nan jenius ini telah diajarkan melalui konsepsi Tri Sakti dalam ajaran Weda yaitu: Satyam, Shivam dan Sundharam. Ketika kesadaran menyatukan esensi Tri Tunggal ini, tercipta dalam penciptaan seni, maka seniman penciptanya juga adalah rohaniawan. Rentang dan lapisan herarkhi keluhuran nilai hidup inilah mencirikan seniman dimasa lalu, Dia bekerja membebaskan namanya. Hingga nama tak tertulis dalam karya-karya besarnya.

Baca juga:  Budaya Bali Diserap Daerah Lain lewat Seni

Tantangan terbesar bisa juga terjadi sebaliknya, bahwa seni itu dikendarai atau dimuati oleh pemburaman nilai-nilai moralitas yang menyesatkan, merupakan ciri kerja intensif para asura, untuk menguasai umat manusia dan juga semesta raya. Rekaman peristiwa seni erotis atau erotik bertopeng seni yang mesti tersembunyi, dipertontonkan di ruang publik ragam usia, bertopeng hak asasi manusia yang amat sulit dibendung. Kecerdasan asura melihat peluang dan celah untuk menguasai amat luar biasa saat ini. Inilah arus besar sebagai mesteri kekinian, disamping itu juga telah menumpukkan masalah pemburaman yang amat gelap mengelora tak terhindarkan.

Beranjak dari perjalanan sejarah dan peran keterlibatan seni dalam kehidupan, yang serba mungkin, penuh nilai spekulasi. Tetapi didalam seni menyikapi semua itu, mengharmonisasi mampu  mengisi kemungkinan dengan sesuatu nilai yang bermakna luhur yang meluhurkan. Hingga pemahaman seni sebagai  puncak kesadaran terefleksi meresapi jiwa, membangun kehidupan estetik individu dan jamannya. Perjuangan sebagai perlawanan dan menghamonisasi merupakan ciri-ciri penyadaran lewat estetk seni.

Penulis Budayawan, Pensiunan Dosen ISI Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *